Rabu, 08 April 2015

Kebenaran Hanya Datang Dari Allah SWT.

Kebenaran Hanya Datang Dari Allah SWT.

 “Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya. Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus: 32)

Penjelasan Mufradat Ayat
     “Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya”
Ayat ini menyebutkan tiga dari nama Allah Subhanahuwata’ala, yaitu (nama) Allah yang mengandung sifat uluhiyyah bagi-Nya, Ar-Rabb yang mengandung sifat Rububiyyah baginya, dan Al-Haq yang mengandung sifat kebenaran tentang wujudnya, kebenaran tentang firman-Nya, syariat-Nya, dan seluruh janjinya. Allah telah memberi nama dirinya dengan “Al-Haq” dalam berbagai tempat dalam Al Qur`an, seperti firman-Nya:

“Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Haj: 6)

“Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang haq; tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (Al-Mukminun: 116)

     Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Engkau adalah Al-Haq dan perkataan-Mu haq.”
Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Rahimahullah memasukkan Al-Haq di antara nama-nama Allah. (lihat Al-Qawa’idul Mutsla: 21)

Image result for allah swt
     Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullah berkata: “Al-Haq pada dzat dan sifat-Nya. Sehingga Dia adalah wajibul wujud (keberadaan-Nya adalah wajib), sempurna sifat-Nya, wujud-Nya adalah kelaziman dzat-Nya, dan tidak terwujud segala sesuatu kecuali dengan-Nya. Dialah yang senantiasa memiliki sifat keagungan, keindahan, kesempurnaan, dan senantiasa berbuat kebaikan. Firman-Nya adalah haq, perbuatannya haq, pertemuan dengan-Nya adalah haq, para Rasul-Nya adalah haq, kitab-kitab-Nya adalah haq, agamanya haq, beribadah hanya kepadanya adalah haq, dan segala sesuatu yang dinisbahkan kepadanya adalah haq.” (lihat Shifatullah, tulisan As-Saqqaf hal. 120)
Kata Adh-Dhalal atau Adh-Dhalalah maknanya adalah lawan dari Al-Huda (petunjuk). (Al-Qamus hal. 1024)

     Al-Imam Al-Qurthubi Rahimahullah berkata: “Adh-Dhalal (kesesatan) hakekatnya adalah menjauh dari kebenaran. Ibnu ‘Arafah berkata: Adh-Dhalalah (kesesatan) di kalangan Arab maknanya adalah menempuh selain jalan yang lurus.” (Tafsir Al-Qurthubi secara ringkas, 8/337)
Terkadang Adh-Dhalal juga diungkapkan atas seseorang yang tidak mengenal Allah Subhanahuwata’ala yang disertai kelalaian, walaupun keadaan orang tersebut tidak diliputi kejahilan atau keraguan. Atas penafsiran ini, sebagian para ulama memahami firman Allah Subhanahuwata’ala:

“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang lalai, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Adh-Dhuha: 7)
     Yaitu “lalai” menurut salah satu penafsiran (yaitu dengan makna tidak mengenal Allah Subhanahuwata’ala, red). Dan ini dikuatkan dengan firman-Nya:

“Dahulu engkau tidak mengetahui apa itu kitab dan apa itu iman.” (Asy-Syura: 52)
     Termasuk pula dalam pengertian ini apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abdil Hakam dan Asyhab dari Al-Imam Malik Rahimahullah tentang ayat ini, di mana beliau mengatakan: “Bermain catur dan dadu termasuk dari Adh-Dhalal (kelalaian).” (Tafsir Al-Qurthubi, 8/337)

Penjelasan Makna Ayat
      Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullah berkata: “Maka itulah Rabbmu, yaitu yang diibadahi, yang disembah, yang dipuji, yang mendidik seluruh makhluk dengan berbagai kenikmatan-Nya. Dialah Al-Haq, maka tidak ada lagi setelah Al-Haq melainkan kesesatan. Karena Dia-lah yang bersendiri dalam mencipta, mengurusi segala sesuatu. Tidak seorang hamba pun yang merasakan satu kenikmatan melainkan berasal dari-Nya, dan tidak ada yang mendatangkan kebaikan melainkan Dia, tidak ada yang menolak kejelekan kecuali Dia.

     Dia memiliki Asma`ul Husna dan sifat-sifat yang maha sempurna yang agung, penuh kemuliaan dan kesempurnaan. Lalu mengapa kalian berpaling dari beribadah kepada yang demikian sifat-sifat-Nya (yakni berpaling dari Allah)? Lalu menyembah sesuatu yang wujudnya akan sirna, tidak mampu mendatangkan manfaat dan mudharat serta tidak pula mampu mendatangkan kematian, kehidupan, dan kebangkitan? Dia tidak memiliki kekuasaan sedikitpun dan tidak ada sekutu bagi Allah dalam hal apapun. Tidak ada yang berhak memberi syafaat di sisi Allah Subhanahuwata’ala melainkan dengan izin-Nya. Maka celakalah bagi yang menyekutukan-Nya dan binasalah bagi yang kafir terhadap-Nya. Telah hilang akal mereka setelah hilangnya agama mereka, bahkan mereka telah kehilangan dunia dan akhirat. Oleh karena hal itu Allah Subhanahuwata’ala berfirman tentang mereka:
‘Demikianlah telah tetap hukuman Rabbmu terhadap orang-orang yang fasiq, karena sesungguhnya mereka tidak beriman.’ (Yunus: 33).” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 363)

Image result for allah swt
Kebenaran Hanyalah Satu dan Tidak Berbilang
     Ayat Allah Subhanahuwata’ala yang mulia ini menjelaskan kepada kita bahwa jalan kebenaran hanyalah satu dan tidak ada lagi selain dari jalan tersebut melainkan kesesatan dan penyimpangan dari Al-Haq. Al-Imam Al-Qurthubi Rahimahullah berkata: “Ayat ini memberikan hukum bahwa tidak terdapat kedudukan yang ketiga antara Al-Haq dan bathil dalam masalah ini yaitu dalam mentauhidkan Allah Subhanahuwata’ala. Demikian pula dalam perkara-perkara yang serupa dengannya, yaitu masalah ushul (prinsip-prinsip agama, red.) yang mana kebenaran hanya ada di satu pihak.” (Tafsir Al-Qurthubi, 8/336)
Jika demikian keadaannya, maka hendaklah seorang muslim selalu berusaha untuk mencari jalan keselamatan tersebut yang jumlahnya hanya satu. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dalam beberapa haditsnya. Di antaranya adalah yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahuanhu, ia berkata:
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam membuat sebuah garis di hadapan kami satu garis lalu berkata: “Ini adalah jalan Allah.” Lalu beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan sebelah kiri garis tadi lalu berkata: “Ini adalah jalan-jalan. Di atas setiap jalan itu terdapat setan yang menyeru kepadanya.” Lalu beliau membaca firman Allah: “Dan sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah. Dan janganlah mengikuti jalan-jalan (sesat) hingga akan terpisah kalian dari jalan-Nya. [1] ”  (HR. Al-Imam Ahmad, 1/435 dan 465, An-Nasa`i dalam Al-Kubra, 6/11174, Ad-Darimi no. 202, Ath-Thayalisi no. 244, Sa’id bin Manshur, 5/935, Ibnu Hibban, 1/180/6, dan Al-Hakim, 2/348, seluruhnya dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahuanhu. Al-Hakim berkata: “Hadits ini sanadnya shahih.” Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam tahqiq Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 525)

     Dalam hadits ini,  ketika menyebutkan jalan Allah, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam menyebutkan dengan lafadz mufrad (tunggal). Namun ketika menyebutkan kesesatan, beliau menyebutkannya dalam bentuk jamak, yang menunjukkan banyaknya jalan-jalan kesesatan dan banyaknya jumlah para pengikut setan yang menghalangi manusia untuk berjalan di atas jalan Allah Subhanahuwata’ala. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’am: 116)
Demikian pula yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“…Umatku akan berpecah menjadi 73 golongan, semuanya dalam neraka kecuali satu golongan.” Beliau ditanya: “Siapakah yang satu itu?” Beliau menjawab: “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya.” (HR. At-Tirmidzi, 5/2641, Al-Hakim, 1/218. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Shahih At-Tirmidzi)

     Hadits tentang perpecahan ini telah diriwayatkan dari beberapa shahabat Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam dalam kitab-kitab sunnah, di antaranya Anas bin Malik, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzani radhiyallahuanhuma. Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa 72 yang masuk jannah (surga) dan satunya masuk an-naar (neraka) adalah hadits yang palsu. (lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, Al-Albani Rahimahullah, 3/1035)
     Namun anehnya riwayat ini justru dishahihkan oleh ahlul ahwa` (orang yang mengikuti hawa nafsu, red.) yang tidak mengerti tentang ilmu hadits dari dasarnya. Di antaranya adalah seorang tokoh Syi’ah Rafidhah, Jalaluddin Rahmat, sebagaimana yang ditulisnya dalam kitab sesatnya Islam Aktual.

Banyak Jalan Menuju Keselamatan
     Mungkin di antara kita ada yang mempertanyakan tentang firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Maidah: 16)
     Ayat ini menyebutkan subulus salaam yang berarti jalan-jalan keselamatan. Ayat yang mulia ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat dan hadits yang telah kita sebutkan yang menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu. Sebab ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa di dalam Ash-Shirathul Mustaqim tersebut banyak jalan kecil yang semuanya menuju ke arah satu jalan utama yang besar yaitu jannah Allah Subhanahuwata’ala. Al-Imam Al-Qurthubi berkata dalam menafsirkan ayat ini: “Subulus salaam yaitu jalan-jalan keselamatan yang menuju kepada Darus Salaam yang bersih dari setiap celaan, aman dari segala yang dikhawatirkan, yaitu jannah.” (Tafsir Al-Qurthubi, 6/118)
     Di antara yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, bahwa Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Iman itu 70 cabang lebih, yang tertinggi adalah ucapan La ilaaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan. Dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`i, Ibnu Majah)
     Demikian pula hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap persendian dari manusia wajib atasnya sedekah setiap hari tatkala terbitnya matahari. Engkau berbuat adil dalam menghukumi antara dua orang adalah sedekah, dan engkau menolong orang untuk menaiki kendaraannya atau engkau membantu mengangkat barangnya di atas kendaraannya adalah sedekah, kalimat yang baik adalah sedekah, dan setiap langkah yang engkau berjalan dengannya menuju shalat adalah sedekah, dan engkau menyingkirkan duri dari jalanan adalah sedekah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dan masih banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang banyaknya jalan menuju kebaikan tersebut. Oleh karena itu, Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah membuat satu bab di dalam kitabnya Riyadhush Shalihin dengan judul Bab: Penjelasan tentang Banyaknya Jalan Kebaikan.

     Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah berkata dalam menjelaskan banyaknya jalan-jalan kebaikan: “Dan yang menunjukkan kepada apa yang kami katakan bahwa di kalangan manusia ada yang engkau dapati senang mengerjakan shalat sehingga dia memperbanyak ibadah shalatnya. Dan di antara mereka ada pula yang senang membaca Al Qur`an sehingga engkau dapati dia banyak membaca Al Qur`an. Dan di antara mereka ada yang senang berdzikir, bertasbih, bertahmid, dan semisalnya, lalu engkau dapati dia banyak berdzikir; dan di antara mereka ada yang dermawan yang senang menginfakkan hartanya sehingga engkau dapati dia selalu bersedekah berinfak kepada keluarganya dan memberikan keleluasaan kepada mereka tanpa melampaui batas. Dan di antara mereka ada yang senang dengan ilmu dan menuntut ilmu, yang mana di masa kita merupakan amalan jasmani yang paling mulia. Sebab, manusia di masa kita sekarang ini sangat membutuhkan ilmu syar’i karena banyaknya kejahilan dan merebaknya orang-orang yang sok alim yang mengklaim bahwa mereka adalah ulama padahal mereka tidak memiliki ilmu melainkan sangat sedikit.
Maka kita sangat membutuhkan ilmu yakni ilmu yang mapan, kokoh, yang dibangun di atas Al-Kitab dan As Sunnah, agar mampu membantah berbagai kekeliruan yang tersebar di berbagai kampung dan negara, di mana setiap orang yang baru menghafal satu atau dua hadits dari Rasulullah r lalu berani berfatwa dan bermudah-mudah dengannya, seakan-akan dia adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, atau para imam yang lainnya rahimahumullah. Ini sangat berbahaya, jika Allah Subhanahuwata’ala tidak merahmati umat ini dengan adanya para ulama yang mapan, memiliki ilmu dan hujjah yang kuat.” (Syarah Riyadhish Shalihin, 1/444)

     Namun perlu menjadi perhatian di sini bahwa jalan-jalan kebaikan tersebut tidak keluar dari jalur Ash-Shirathul Mustaqim yang dijalani Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Dan bukan yang dimaksud di sini adalah mengamalkan agama dengan cara-cara bid’ah yang sesat. Sebab, kebenaran hanyalah apa yang dari Allah Subhanahuwata’ala. Maka batil-lah sebuah pernyataan yang diserukan oleh Hasan Al-Banna beserta para muqallid (orang-orang yang taqlid kepada)-nya: “Kita saling tolong menolong terhadap apa yang kita sepakati dan saling memberikan udzur terhadap apa yang kita berbeda.”

sumber: forum salafy.com

Kamis, 02 April 2015

APRIL MOP DALAM PANDANGAN ISLAM

"APRIL MOP DALAM PANDANGAN ISLAM"

     April Mop diperingati setiap tanggal 1 April setiap tahun. Pada hari itu, orang-orang dianggap boleh berbohong atau memberikan lelucon kepada orang lain tanpa dianggap/merasa bersalah. Hari ini ditandai dengan tipu-menipu dan lelucon lainnya terhadap keluarga, musuh, teman, bahkan tetangga dengan tujuan untuk mempermalukan orang-orang yang mudah ditipu.
     Tidak menutup kemungkinan untuk momen seperti ini juga diikuti oleh para kaum muslimin. Bagaimana Islam pendapat islam dalam memandang momen tersebut?

Hasil gambar untuk april mop
     Berikut nasehat dari Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah dalam artikel beliau yang berjudul:
الدليل على تحريم كذبة إبريل .
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد.

Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan untuk jujur di dalam Kitab-Nya dan memerintahkan untuk bersama dengan orang-orang yang jujur. Allah jalla wa’ala berfirman,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ. (التوبة: 119)

artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119)

     Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dari perbuatan dusta dan menggolongkan dusta termasuk kepada dosa besar. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

artinya: “Hati-hatilah kalian dari dusta, karena sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pelakunya kepada kejahatan. Seseorang yang senantiasa berdusta dan terus-menerus dalam kedustaannya, maka akhirnya ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”

     Jika demikian, maka yang kewajiban atas seorang muslim adalah bertakwa kepada Allah dan menjalankan perintah-Nya, serta menaati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim wajib berhati-hati dan waspada dengan penuh kewaspadaan dari perbuatan dusta. Karena kedustaan itu diharamkan dalam bentuk dan warna apapun. Semakin besar dan semakin bertambah kadar keharamannya ketika kedustaan itu dilakukan dalam rangka membuat orang lain tertawa.

     Inilah yang kami ketahui tentang permasalahan yang ditanyakan (tentang momen April Mop, pent) dan ini adalah perkara yang sudah dikenal di kalangan umat Islam dalam kurun waktu terakhir ini. Yang sangat disayangkan, ternyata sumber dari momen tersebut adalah berasal dari kalangan orang-orang Yahudi, Nashara, dari negara-negara barat dan timur semuanya, mereka berdusta dan menipu dengan suatu kedustaan dan tipuan dengan tujuan agar orang-orang tertawa, atau agar orang-orang menyebut dia dan terkenal serta tercatat di dunia popularitas.
    
     Adapun kita segenap kaum muslimin, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

وَيْلٌ لِلرجل يَكْذِبُ الكذبة لِيَضْحَكَ بِها الْناس وَيْلٌ لَهُ, ثُمَّ وَيْلٌ لَهُ

artinya: “Celakalah seseorang yang berdusta dengan suatu kedustaan agar manusia tertawa karenanya, celakalah dia, celakalah dia.”

     Wajib atas kita semua untuk berhati-hati darinya. Permasalahan yang ditanyakan, yaitu tentang kedustaan pada bulan April (April Mop), maka ini adalah haram dari dua sisi:

Hasil gambar untuk april mop menurut islam
Pertama: Hal itu merupakan kedustaan. Allah subhanahu wata’ala telah mengharamkan dusta. Dan kita semua telah mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

artinya:“Hati-hatilah kalian dari dusta, karena sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pelakunya kepada kejahatan, dan kejahatan akan mengantarkan pelakunya kepada neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan terus-menerus dalam kedustaannya, maka akhirnya ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ini sisi pertama.

Hasil gambar untuk april mop menurut islam
Kedua: Semakin besar keharamannya, di samping kedustaan itu sendiri hukumnya adalah haram, bahwa perbuatan seperti itu merupakan bentuk tasyabbuh terhadap orang-orang kafir. Orang-orang kafir tersebut berdusta, menipu, dan melakukan perbuatan sedemikian rupa, bahkan terkadang menyampaikan kedustaan berupa berita besar dan bencana yang hebat yang disiarkan dan disebarkan terutama melalui media-media massa pada zaman modern ini. Sehingga tersebarlah berita tersebut sampai belahan bumi timur dan barat. Akibatnya terjadi ketakutan yang melanda banyak orang. Namun kemudian berita tersebut diketahui ternyata tidak ada asalnya.

     Demikianlah jika seorang muslim berdusta, yang kemudian menyebabkan saudaranya sesama muslim ketakutan, dan semakin besar ketakutan itu yang menyebabkan semakian bertambah pula kepanikannya, bahkan terkadang jatuh sakit ketika disampaikan kepadanya misalnya: Si Fulan meninggal dunia, ayahnya, atau saudaranya, atau putra dan putrinya. Misalnya juga dengan mengatakan, “Rumahmu kecurian.” “Rumahmu kebakaran.” Atau yang semisal dengannya berupa perkara-perkara dan berita yang besar. Hal seperti itu terkadang menyebabkan seseorang kacau pikirannya, hilang pikiran dan akalnya, dan terkadang jatuh sakit. Yang seperti ini menjadi tanggungan siapa? Apa yang terjadi seperti ini tentu menjadi tanggungan si pendusta.

      Dalam hal ini kedustaan seperti itu akan lebih besar tingkat keharamannya, karena terdapat padanya kejelekan yang besar dan mengandung unsur penyerupaan dengan orang-orang kafir.
Maka yang wajib atas kaum muslimin adalah berhati-hati dan mewaspadainya dengan sungguh-sungguh, serta tidak meniru musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir, karena Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kaum muslimin untuk bersama dengan orang-orang yang jujur.
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ.(التوبة: 119)
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim itu adalah jika kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”

     Jika ada seorang yang berdusta dengan sebuah kedustaan sehingga menyebabkan orang lain ketakutan, maka berarti kaum muslimin tidak selamat dari gangguan lisannya.
Aku memohon kepada Allah agar memberikan rezeki kepada kita semua berupa pemahaman dan ilmu terhadap agama ini, serta sikap ittiba’ (senantisa mengikuti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhati-hati dari perbuatan menyerupai orang-orang kafir, baik dari kalangan orang-orang barat maupun timur, serta berhati-hati dari mengikuti prinsip dan cara beragama orang-orang Yahudi dan Nashara. Hal ini telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukanlah sesuatu yang asing, jika ada umat Islam yang terjatuh ke dalam perbuatan meniru dan mengikuti orang-orang Yahudi dan Nashrani dengan bentuk peniruan yang benar-benar persis, berjalan di belakang mereka sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampaipun kalau mereka memasuki lubang dhabb, maka kita umat Islam juga akan ikut-ikutan memasukinya.

     Aku memohon kepada Allah agar memberikan rezeki kepada kita semua untuk berittiba’ terhadap Rasul-Nya dan berhati-hati dari perbuatan yang mendatangkan murka Rabb kita tabaraka wata’ala. Yaitu dengan menjauhi perkara-perkara seperti ini (momen April Mop) dan sikap tasyabbuh terhadap musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir. Aku juga memohon kepada Allah agar memberikan rezeki kepada kita semua untuk senantiasa berpegang dengan prinsip Islam yang benar dan meniti jalan Allah yang lurus. Sesungguhnya  Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

Selasa, 31 Maret 2015

” Pemerintah Yang Kafir ”

 ” Pemerintah Yang Kafir ”

     Terkait dengan pemerintah yang kafir, asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Hadi hafizhahullah menjelaskan bahwa, “Adapun pemerintah yang kafir jika benar-benar kafir , wajib atas kaum muslimin memberontak kepadanya apabila mereka memiliki kekuatan dan kemampuan menggulingkannya serta tidak menimbulkan kerusakan. Akan tetapi, kapan pemerintah itu benar-benar dikafirkan? Ada beberapa poin penting terkait dengan persoalan ini. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ
“Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata, padanya ada hujah dari Allah Subhanahu wata’ala di sisi kalian.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)



Berdasarkan hadits di atas, ada beberapa hal yang harus kita diperhatikan yaitu :

1. Perkara yang menjadikan pemerintah itu dapat diberontak adalah perkara yang benar-benar merupakan
    kekafiran.
    Jadi, hal itu bukan sekadar prasangka atau dugaan dan sebatas isu yang berkembang, tidak juga semata
    karena kefasikan, seperti berbuat zalim, minum khamr, taruhan, berjudi, dan sebagainya.
2. Kekafiran itu adalah kekafiran yang sudah jelas dan terang, serta tidak samar-samar dan bukan lantaran
    adanya syubhat atau takwil (penafsiran sendiri).
    Sebab, syubhat dan takwil terkadang muncul dari dalam diri seseorang, sehingga dia tidak dapat
    dikafirkan, oleh karena itu kita tidak boleh memberontak kepadanya. Al-Hafizh Ibnu Hajar
    rahimahumallah berkata, “Pada intinya, tidak boleh dilakukan pemberontakan selama yang diperbuatnya
    mengandung kemungkinan takwil.”(Fathul Bari)
    Lihatlah bagaimana al-Imam Ahmad rahimahumallah dipaksa untuk mengatakan bahwa al- Qur’an
    adalah makhluk, bukan kalamullah. Perkataan tersebut jelas merupakan sebuah kekufuran, bukan dari
    Islam. Perkataan itu adalah kekafiran menurut kesepakatan para ulama. Pemerintahan bani Abbas pada
    saat itu, seperti Khalifah al-Ma’mun, al- Mu’tashim, dan al-Watsiq, menjatuhkan hukuman kepada siapa
    saja yang tidak mau menyatakan hal ini.


     Para ulama mengatakan, siapa yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluk, maka dia kafir. Meski demikian, al-Imam Ahmad rahimahumallah tetap mendoakan pemerintahnya. Beliau berkata, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, tentu aku jadikan doa ini untuk kebaikan pemerintah.”

     Para fuqaha Baghdad pernah berkumpul di hadapan al-Imam Ahmad. Mereka duduk dan meminta pandangannya serta berdiskusi dengannya soal pemberontakan. Mereka menyampaikan bahwa masalah perkataan al-Qur’an adalah makhluk sudah menyebar; para ulama diuji dengannya; dan keadaan menjadi tidak menentu, hingga tahap mereka tidak bisa terus bersabar. Mereka berkata, “Tidak ada gunanya lagi sikap taat dan mendengar kepada pemerintah semacam ini.”

     Al-Imam Ahmad rahimahumallah menjawab, “Tidak! Semua ini menyelisihi hadits-hadits yang telah diriwayatkan. Bersabarlah kalian. Kita telah menjumpai dalam hadits ‘selama mereka masih menunaikan shalat’. Berhati-hatilah dalam urusan yang menyangkut darah kaum muslimin.”
Al-Imam Ahmad rahimahumallah melarang mereka membuka pintu keburukan. Mereka berkata, “Tidakkah engkau lihat apa yang kita hadapi saat ini?” Al-Imam Ahmad t menjawab, “Ini ujian khusus yang hanya menimpa sebagian orang. Adapun keburukan yang besar ialah apabila pedang sudah dihunuskan. Berhati-hatilah kalian terhadap darah kaum muslimin. Lindungilah darah mereka. Sungguh, semua ini telah menyelisihi hadits.”

     Al-Imam Ahmad rahimahumallah tidak mengafirkan pemerintahnya. Beliau justru memerintahkan agar mereka tetap mendengar dan taat, karena pemerintah saat itu dipengaruhi oleh ta’wil dan syubhat.
Dalam peristiwa ini, beliau sendiri  dihukum lantaran tidak mengatakan al- Qur’an sebagai makhluk. Beliau dipukul, didera, dan dicambuk dengan cemeti hingga pingsan beberapa kali. Meski demikian, kezaliman pemerintah tidak lantas mendorong beliau untuk mengatakan sesuatu di luar perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Inilah kepatuhan yang sempurna terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

3. (Apabila kekafirannya sudah nyata dan jelas), hendaknya kaum muslimin memiliki kekuatan dan
     kemampuan untuk menggulingkannya tanpa menimbulkan mudarat yang lebih besar.
     Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumallah berkata, “Apabila pemerintah jatuh kepada kekafiran yang jelas, tidak boleh ditaati. Siapa yang mempunyai kemampuan wajib untuk melawannya.” (Fathul Bari)
Jika tidak punya kemampuan, kaum muslimin tidak diperbolehkan untuk melakukan pemberontakan. Hendaknya mereka tetap bersabar hingga Allah memberikan kelapangan dan jalan keluar. Hendaknya mereka tetap berdakwah di tengah-tengah manusia, mengajari, dan memahamkan manusia kepada kebenaran serta mengajak mereka untuk menerima sepenuhnya apa yang diajarkan oleh makhluk yang paling mulia, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

     Asy-Syaikh al-Allamah Shalih al- Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun bermuamalah dengan pemerintah yang kafir, ini berbeda-beda tergantung keadaannya. Jika kaum muslimin memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memeranginya dan menggulingkannya dari kursi kepemimpinan, lalu diangkat seorang pemimpin yang muslim, wajib bagi mereka melakukan hal tersebut, bahkan hal itu termasuk jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala.”

    Akan tetapi, apabila mereka tidak memiliki kemampuan untuk menggesernya, maka tidak diperbolehkan bagi mereka untuk menyalakan api permusuhan dengan cara-cara atau tindakan yang zalim karena akan menimbulkan mudarat yang akan kembali kepada kaum muslimin itu sendiri.

     Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menetap di Makkah selama tiga belas tahun setelah beliau diutus. Tampuk kepemimpinan dan kekuasaan pada waktu itu ada pada orang kafir. Namun, ada di antara mereka yang masuk Islam dan menjadi sahabat-sahabat beliau. Mereka (Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya) tidak mengkudeta atau menurunkan orang-orang kafir dari kepemimpinannya. Mereka justru dilarang untuk memerangi orang-orang kafir pada masa itu.

    Mereka tidak diperintahkan untuk berperang kecuali setelah hijrah dan memiliki negara dan jamaah (pengikut) yang membuat mereka mampu untuk memerangi orang-orang kafir. Inilah manhaj Islam.
Apabila kaum muslimin berada di bawah pemerintah yang kafir dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk menggulingkannya, kewajiban mereka adalah berpegang teguh dengan keislaman dan akidah mereka
” (al-Hakim wa Anwa’uhu dan ad-Dur al-Mantsur)

sumber: asy-syariah.com

Kamis, 26 Februari 2015

” Meraih Pahala Dengan Bersabar “

 ” Meraih Pahala Dengan Bersabar “

    Tak ada seorang pun yang menginginkan hidup dalam keadaan sulit. Tidak ada seorang pun menginginkan musibah terjadi kepada dirinya. Namun, kenyataan hidup berbeda dengan apa yang selalu diinginkan oleh setiap manusia. Hidup manusia tak selalu diwarnai dengan kebahagiaan dan kesenangan. Tidak pula hidup selalu diliputi kesuksesan. Terkadang manusia harus jatuh bangun menghadapi kehidupan. Ia harus menghadapi sekian banyak cobaan. Beruntunglah orang orang yang selalu bersikap sabar.

Image result for Bersabar “

Apa itu Sabar?
Secara bahasa arti kata sabar adalah :
الْحَبْسُ وَالْمَنْعُ
Artinya, menahan atau mencegah.
Adapun secara istilah sabar dimaknai sebagai berikut:
 حَبْسُ اللِّسَانِ عَنِ التَّشَكِّي وَالتَّسَخُّطِ وَالنَّفْسِ عَنِ الْجَزَعِ وَالْجَوَارِحِ عَنْ لَطْم الْخُدُودِ وَشَقِّ الْجُيُوبِ
    Artinya, kemampuan seseorang untuk menahan lisan, mengendalikan diri (jiwa), serta menahan anggota tubuh dari memukul wajah dan merobek kerah baju (pakaian). (It-hafu al-’Uqul bi Syarhi Tsalati al-Ushul, asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri)

    Penyebutan “memukul wajah dan merobek kerah baju (pakaian)” dalam definisi di atas, terkait dengan kebiasaan orang-orang Arab jahiliah (sebelum Islam datang) ketika ditimpa musibah kematian orang yang dicintai. Mereka menunjukkan perilaku memukul-mukul wajah dan merobek kerah baju. Ini dilakukan sebagai wujud kesedihan yang mendalam.

     Berdasar definisi di atas, sabar memiliki tiga unsur pokok yaitu: pengendalian diri (jiwa), pengendalian lisan, dan pengendalian anggota tubuh. Kesabaran seseorang akan tecermin dari sejauh mana tingkat dan kemampuan dirinya melakukan pengendalian diri, lisan, dan anggota tubuhnya.

    Seseorang belum bisa dikatakan bersabar manakala tangan atau kakinya melakukan aksi perusakan saat dirinya emosi menghadapi ketidakpuasan. Dia melakukan tindakan agresif secara membabi buta. Seseorang belum juga dikatakan bersabar manakala dirinya ditimpa musibah lantas lisannya mengeluarkan kata-kata kekufuran atau kesyirikan, kata-kata tidak terpuji, umpatan atau sumpah serapah, caci maki, dan yang sejenis.

    Seseorang juga belum bisa dikatakan bersabar saat dirinya didera musibah lantas jiwanya goncang dan hilang kontrol diri. Dia tidak bisa mengendalikan diri, dan justru menampakkan kemarahan dan sikap emosi. Lebih dari itu, dalam keadaan goncang, dirinya terjatuh pada perbuatan syirik atau bid’ah. Dirinya tak sabar menghadapi kesulitan hidup lantas mendatangi dan meminta-minta kepada yang ada di dalam kubur atau mendatangi dukun, wal ’iyadzu billah. Maka dari itu, seseorang bisa dikatakan bersabar manakala dirinya mampu mengendalikan dan mengontrol emosi, lisan, dan segenap anggota badannya saat menghadapi musibah atau situasi tidak menyenangkan yang menimpanya. Ia tetap dalam garis ketaatan seraya tawakal (berserah diri) dan memohon pertolongan-Nya.

 Image result for Bersabar “

Macam Kesabaran
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahumallah menyebutkan bahwa kesabaran itu meliputi tiga macam.

1. Bersabar dalam rangka menaati Allah Subhanahu wata’ala. Ini sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wata’ala,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ
“Perintahlah keluargamu untuk menegakkan shalat dan bersabarlah dalam menunaikannya.” (Thaha: 132)
Firman-Nya pula,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنزِيلًا () فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan al-Qur’an kepadamu secara bertahap, maka bersabarlah dalam menetapi hukum Rabb-mu.” (al-Insan: 23—24)
Sabar dalam menaati Allah Subhanahu wata’ala  ialah bentuk kesabaran merealisasikan perintah-perintah Allah Subhanahu wata’ala.

2. Bersabar dari berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala

Bentuk kesabaran ini sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Saat seorang wanita berkedudukan dan terpandang mengajaknya melakukan perbuatan maksiat, Nabi Yusuf ‘Alaihissalam justru menghindar. Nabi Yusuf ‘Alaihissalam bersabar (menahan) diri untuk tidak terseret pada perilaku durhaka. Dia memilih untuk mendekam dalam penjara daripada harus melakukan kedurhakaan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman mengungkapkan kisah itu,
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
“Yusuf berkata, ‘Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh’.” (Yusuf: 33)

3. Bersabar atas segala takdir Allah Subhanahu wata’ala.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِل لَّهُمْ
“Bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran para rasul yang memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka.” (al-Ahqaf: 35)
Termasuk kesabaran ini ialah kesabaran ketika menyampaikan risalah dan menghadapi berbagai gangguan yang dilancarkan oleh anggota masyarakat.


"Ujian Hidup Pasti Ada"
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ(157)
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu, orangorang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami akan kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Rabbnya (yaitu, Allah Subhanahu wata’ala) dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Baqarah: 155—157)

    Di dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala menegaskan bahwa setiap manusia akan mendapat ujian di dalam kehidupannya. Ujian tersebut bisa dalam bentuk gagal panen, kehilangan modal usaha (harta), kehilangan orang yang dicintai (kematian), atau hilangnya rasa aman (ketakutan), dan lainnya. Meski demikian, orang-orang yang beriman, akan menyikapi semua ujian hidup tersebut dengan penuh kesabaran. Orang yang beriman memiliki keyakinan bahwa musibah yang menimpanya akan memberikan kebaikan pada dirinya.

     Betapa tidak, dengan musibah itu dia harus bersabar. Manakala dirinya bisa bersabar, maka Allah Subhanahu wata’ala akan memberikan pahala. Misal, seseorang yang diuji oleh Allah Subhanahu wata’ala dengan rasa sakit. Jika dirinya bersabar dengan apa yang menimpanya, niscaya dia akan mendapat ganjaran. Dia akan mendapat ampunan, yaitu dosa-dosanya dihapus dan mendapat rahmat dari Allah Subhanahu wata’ala Dalam sebuah hadits dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَاهَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa kepayahan, sakit (yang berkepanjangan/lama), kecemasan (gundah), kesedihan, kesakitan, dan dukacita hingga (ditimpa musibah) tertusuk duri, kecuali Allah l akan menghapuskan dosa-dosanya.” ( HR. al-Bukhari, no. 5642 dan Muslim, no. 52, 2573)
Demikianlah, ujian hidup itu pasti ada. Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ  أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟  فَقَالَ: الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ رَقِيقَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ ذَاكَ، وَإِنْ كَانَ صُلْبَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ ذَاكَ. قَالَ: فَمَا تَزَالُ الْبَلَايَا بِالرَّجُلِ حَتَّى يَمْشِيَ فِي الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, siapakah manusia yang paling berat mendapat ujian?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallampun lantas menjawab, “Para nabi lalu yang semisal dengan mereka kemudian yang semisal dengan mereka. Seseorang akan mendapat ujian sesuai dengan keadaan agamanya. Jika agamanya kokoh, keras pula ujiannya. Bila keadaan agamanya lemah, ia akan diuji sebanding dengan keadaan agamanya. Ujian itu tak akan terlepas dari seseorang hingga dirinya berjalan di muka bumi dengan tanpa dosa.” ( HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan selainnya. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 143)

Image result for Bersabar “

Sabar Menghadapi Ujian dalam Dakwah
    Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berupaya mengembangkan dakwah ke wilayah Thaif, yang beliau temui bukanlah sambutan yang baik. Beliau bersama seorang sahabat mendapat cercaan, hinaan, dan kekerasan fisik. Beliau dilempari batu. Tubuh beliau yang mulia terluka. Dari wajah beliau mengucur darah. Mengajak manusia menuju kebaikan malah dibalas kejelekan.
Betapa kejahilan yang begitu akut telah melekat pada masyarakat Thaif kala itu. Kejahiliahan yang ada pada mereka sedemikian menggulita sehingga tak mampu mencerna isi ajakan yang disampaikan manusia pilihan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hati mereka buta dan tuli, tiada mampu membedakan kebaikan dan keburukan.

    Meski demikian, Rasulullah n tetap bersabar. Lisan beliau terjaga, tidak membalas umpatan dan caci maki dengan yang semisal. Demikian pula anggota tubuh beliau tak membalas dengan balasan yang semisal. Jiwa beliau tetap kokoh, tak lantas goncang, dan berputus asa dari menebar kebaikan. Kesabaran terhunjam kukuh pada diri beliau. Abdullah bin Mas’ud z pernah bertutur bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita,
“Ada seorang nabi dari kalangan nabi-nabi shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim dipukul oleh kaumnya. Lantas mengucurlah darahnya. Nabi itu pun mengusap darah dari wajahnya seraya berdoa,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
‘Ya Allah, ampunilah kaumku. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui.’ (HR. al-Bukhari, no. 3477 dan Muslim, no. 1792).”
Dikisahkan pula dari Abu Abdillah Khabbab bin al-Aratt radhiyallahu ‘anhu. Katanya,
أَتَيْنَا رَسُولَ اللهِ  وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً فِي ظِلِّ  الْكَعْبَةِ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ فَقُلْنَا: أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُو اللهَ لَنَا؟ فَجَلَسَ مُحْمَرًّا وَجْهُهُ فَقَالَ قَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ يُؤْخَذُ الرَّجُلُ فَيُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ ثُمَّ يُؤْتَى بِالْمِنْشَارِ فَيُجْعَلُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُجْعَلُ فِرْقَتَيْنِ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ عَظْمِهِ مِنْ لَحْمٍ وَعَصَبٍ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِه وَاللهِ لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مَا بَيْنَ صَنْعَاءَ وَحَضْرَمُوتَ مَا يَخَافُ إِلَّا اللهَ تَعَالَى وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَعْجَلُونَ
“Kami mengeluh kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang kala itu tengah berbantal dengan kain burdahnya di bawah Ka’bah. Kami sampaikan, ‘Mengapa engkau tidak memintakan tolong dan mendoakan kami?’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ada seorang laki-laki yang hidup sebelum kalian ditangkap dan ditanam di dalam tanah. Kemudian gergaji diletakkan di kepalanya sehingga terbelahlah kepala laki-laki itu menjadi dua. Dengan sisir dari besi, kepala itu pun disisir sehingga terkelupas daging dan tulangnya. Semua itu tak lantas memalingkan dirinya dari agamanya. Demi Allah, sungguh Allah Subhanahu wata’ala akan menyempurnakan perkara ini (Islam) hingga orang yang berkendara dari Shan’a ke Hadramaut tidak ada yang ditakuti kecuali hanya Allah Subhanahu wata’ala dan serigala yang mengancam kambingnya. Akan tetapi, kalian begitu tergesa-gesa’.” (HR. al-Bukhari, no. 2943, 3852)

     Demikianlah ujian itu akan senantiasa ada. Telah menjadi tabiat dalam dakwah adanya beragam tantangan menghadang. Terkhusus, bagi para da’i yang menyerukan dakwah salafiyah. Beragam upaya untuk meruntuhkan sendi-sendi dakwah akan senantiasa dilakukan. Mulai dari upaya melakukan taqrib, upaya mendekatkan antarjamaah, hingga upaya pengaburan pemahaman dengan melalui berbagai media yang ada. Mereka bersinergi untuk mengoyak dakwah nan mulia ini. Mereka tuduh orang-orang yang bersikukuh di atas manhaj yang haq sebagai kelompok garis keras atau pernyataan yang semisal. Selama hawa nafsu mereka belum tercapai, mereka akan terus menggerogoti dakwah ini dengan berbagai syubhat dan syahwat. Nas’alullahu as-salamah (Kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wata’ala).
Terkait adanya ujian ini, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ () وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orangorang yang dusta.” (al-Ankabut: 2—3)

    Dalam berbagai keadaan, kesabaran harus senantiasa ada. Saat menghadapi masalah, apabila tidak disertai kesabaran, niscaya akan bisa mengarah pada keadaan yang lebih buruk. Dengan sikap sabar, seseorang akan mampu mengendalikan diri dan mengambil tindakan yang lebih baik (dengan izin Allah Subhanahu wata’ala). Sikap sabar akan mengantarkan seseorang pada kebaikan. Disebutkan dari Abi Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Menakjubkan untuk urusan yang menimpa seorang mukmin. Sungguh, seluruh urusannya membawa kebaikan. Tidaklah yang demikian itu bisa diperoleh seseorang kecuali hanya oleh seorang mukmin. Jika dirinya mendapatkan kesenangan lantas bersyukur, sikap syukurnya itu membawa kebaikan baginya. Jika dirinya ditimpa musibah lantas bersabar, sikap sabarnya itu membawa kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Dengan sikap sabar seseorang bisa meraup pahala nan tak terkira. Wallahu a’lam.
(sumber:asysyariah.com)

Minggu, 08 Februari 2015

Apa hukumnya qunut subuh?

 Apa hukumnya qunut subuh?

    Qunut subuh yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah yang qunut dilakukan secara terus-menerus, dengan doa yang khusus, seperti ( اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ )… dst.
Terjadi perbedaan pendapat para ulama mengenai hal ini. Sebagian ulama yang bermazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat disyariatkannya qunut subuh. Sementara itu, ulama dari mazhab yang lain berpendapat bahwa qunut tersebut tidak disyariatkan. Mereka yang berpendapat disyariatkannya qunut tersebut berdalil dengan beberapa riwayat, yang paling inti adalah hadits berikut ini.
مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ يَقْنَتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى   فَارَقَ الدُّنْيَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap melakukan qunut pada shalat subuh sampai berpisah dengan dunia.”

    Untuk mengetahui manakah pendapat yang terkuat dalam hal ini, tentu kita harus mempelajari derajat hadits ini, apakah sahih atau dha’if. Beberapa ulama, seperti az-Zaila’i, Ibnu Hajar, dan asy-Syaikh al-Albani telah membahas hadits tersebut dalam buku-buku takhrij mereka. Demikian pula Ibnul Qayyim dalam kitab Zadul Ma’ad. Berikut ini rangkuman pembahasan mereka. Hadits ini diriwayatkan melalui jalan Abu Ja’far ar-Razi, dari Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Rabi’ rahimahullah bercerita, “Aku duduk di sisi Anas bin Malik. Ada yang mengatakan kepada beliau, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut selama satu bulan.’ Beliau pun mengatakan seperti yang tersebut di atas.” Mari kita pelajari sanad hadits ini.

1. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
    Beliau adalah seorang sahabat yang terkenal, termasuk salah seorang sahabat yang meriwayatkan banyak
    hadits.
2. Rabi’ bin Anas rahimahullah
    Beliau adalah seorang tabi’in. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Taqribut Tahdzib,
    “Shaduq lahu auham (Jujur namun memiliki kekeliruankekeliruan).” Adz-Dzahabi rahimahullah dalam
    kitabnya, al-Kasyif, menukil ucapan Abu Hatim tentangnya, “Shaduq.”
3. Abu Ja’far ar-Razi
    Namanya ialah Isa bin Abi Isa Abdullah bin Mahan. Ibnu Hajar t menilainya, “Shaduq sayyi’ul hifzh (jujur
    tetapi hafalannya lemah), terkhusus kalau meriwayatkan dari Mughirah.” (Taqrib at-Tahdzib 8077)
    Adz-Dzahabi rahimahullah menukilkan penilaian Abu Zur’ah rahimahullah terhadapnya, “Yahimu
    katsiran (sering keliru).” Adapun penilaian an-Nasa’i terhadapnya, “Laisa bil qawi (tidak kuat betul).”
    Sementara itu, Abu Hatim rahimahullah menganggapnya tsiqah (tepercaya). (al-Kasyif 6563)
    Alhasil, para ulama hadits dalam bidang jarh wa ta’dil berbeda pendapat tentang keadaannya. Nukilan
    penilaian para ulama terhadapnya bisa dilihat dalam kitab Tahdzibut Tahdzib pada biografi beliau. Bisa
   disimpulkan bahwa di antara mereka ada yang menyebutnya sebagai tsiqah, shaduq, ada kelemahan,
   melakukan kekeliruan, jelek hafalannya, tidak kuat, dan seputar itu. Maknanya, ada sisi kebaikan pada
   kepribadian dan keagamaannya, serta punya kemampuan dalam hal hafalan, namun bukan pada derajat
   orang-orang yang tsiqah atau shaduq secara mutlak. Ini terbukti dengan adanya kekeliruan-kekeliruannya
   ketika meriwayatkan. Kesimpulan rawi yang seperti ini adalah apabila meriwayatkan sesuatu tanpa ada
   dukungan, riwayatnya tertolak. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hibban Shallallahu ‘alaihi
   wasallam, “Dia bersendiri dalam meriwayatkan dari orang orang yang terkenal dengan sesuatu yang
   diingkari oleh para ulama. Tidak mengagumkan saya untuk berhujah dengan haditsnya kecuali apabila
   sesuai dengan hadits orang-orang yang tsiqah. Riwayatnya tidak boleh dianggap kecuali yang tidak
   menyelisihi para perawi yang tsiqah.” (al-Majruhin 2/120)


    Dengan demikian, kita tidak boleh menyatakan haditsnya sahih kecuali apabila sesuai dengan riwayat perawi lain yang tsiqah, atau didukung oleh para perawi lain yang tsiqah. Dan dalam hal ini, keduanya tidak ada. Dukungan dari perawi lain, yang diistilahkan dengan mutaba’ah dan syawahid, tidak terwujud sebagaimana telah dikaji oleh Ibnu Hajar Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kitabnya, at-Talkhishul Habir, dan asy- Syaikh al-Albani Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Silsilah adh- Dha’ifah. Demikian pula kesesuaiannya dengan hadits tsiqah yang lain juga tidak terwujud, justru yang terjadi adalah bertentangan dengan hadits yang lain, di antaranya:

Pertama, hadits dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu sendiri.
قَنَتَ رَسُولُ اللهِ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو  عَلَى أَحْيَاءٍ مِنَ الْعَرَبِ
“Selama satu bulan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut setelah ruku’, mendoakan kecelakaan terhadap beberapa kabilah Arab.” (Muttafaqun alaihi)
Dalam riwayat Muslim rahimahullah terdapat tambahan, “Lalu beliau tidak melakukannya lagi.”
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَقْنُتُ إلّاَ إذَا دَعَى لِقَوْمٍ  أَوْ دَعَى عَلَى قَوْمٍ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan qunut kecuali ketika mendoakan kebaikan atau kejelekan atas suatu kaum.” (HR. al-Khathib al-Baghdadi)

Kedua, hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
كَانَ رَسُولُ اللهِ لَا يَقْنَتُ فِي صَ ةَالِ الصُّبْحِ إِلّاَ أَنْ يَدْعُوَ لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan qunut pada shalat subuh kecuali ketika mendoakan kebaikan atau kejelekan atas suatu kaum.” (HR. Ibnu Hibban)

    Sanad kedua hadits tersebut dinyatakan sahih oleh Ibnu Hajar al- Asqalani rahimahullah dan penulis kitab at- Tanqih, Ibnu Abdil Hadi rahimahullah. Dengan demikian, hadits yang kita bahas di atas memiliki sisi kelemahan dan bertentangan dengan kandungan hadits yang sahih. Dalam ilmu mushthalah hadits, hadits yang semacam ini disebut sebagai hadits mungkar. Di antara ulama yang menghukumi lemahnya hadits ini adalah Ibnu Hajar al- Asqalani rahimahullah. Beliau adalah salah seorang ahli hadits dari kalangan mazhab Syafi’i. Beliau mengatakan dalam kitabnya, at-Talkhishul Habir (hadits no. 370),
“Riwayat-riwayat hadits berbeda-beda dalam periwayatannya dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu dan telah goncang. Maka dari itu, hujah tidak tegak dengan hadits yang semacam ini.” Sebelumnya, Ibnul Jauzi rahimahullah juga melemahkannya dalam kitab at-Tahqiq dan al-‘Ilal al-Mutanahiyah. Demikian pula asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar dalam kitab Silsilah al-Ahadits adh- Dha’ifah (no. 1238).

    Setelah kita mengetahui kedudukan hadits di atas, kita bahkan mendapati adanya pengingkaran dari sebagian sahabat terhadap qunut subuh. Dalam kitab Bulughul Maram, Ibnu Hajar al- Asqalani t menyampaikan hadits berikut.
عَنْ سَعْدِ بْنِ طَارِقٍ قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي: يَا أَبَتِ،  إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ فَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِى الْفَجْرِ؟ فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ، مُحْدَثٌ.
Dari Sa’d bin Thariq al-Asyja’i, ia mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah shalat di belakang Rasulullah n, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali g. Apakah mereka melakukan qunut pada shalat subuh?’ Ia menjawab, “Wahai anakku, itu sesuatu yang baru.” (HR. al-Khamsah selain Abu Dawud dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

    Dalam kitab Ithaful Kiram (hlm. 90), sebuah syarah ringkas terhadap Bulughul Maram, disebutkan, “Maksudnya adalah bid’ah, sesuatu yang diada-adakan, dan tidak ada di zaman mereka. Yang ada adalah qunut nazilah yang terkadang dilakukan dan tidak terus-menerus.”

Tinjauan Makna Qunut
    Apabila ditinjau dari sisi makna, hadits Anas radhiyallahu ‘anhu tentang qunut subuh di atas juga tidak secara tegas menunjukkan disyariatkannya pelaksanaan qunut subuh dengan doa seperti yang lazim dilakukan sekarang oleh orang-orang. Sebab, dalam riwayat tersebut tidak disebutkan demikian, bahkan dalam riwayat itu disebutkan, “Beliau tetap melakukan qunut pada shalat fajar….”
Di manakah keterangan bahwa maksud dari qunut tersebut adalah doa seperti yang dilakukan oleh orangorang? Doa yang biasa dibaca tersebut justru merupakan doa qunut witir yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada cucunya, al-Hasan radhiyallahu ‘anhu, bukan doa qunut subuh. Riwayat berikut ini menjelaskannya.
قَالَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ عَلَّمَنِي رَسُولُ اللهِ :كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي الْوِتْرِ-قَالَ ابْنُ  جَوَّاسٍ: فِى قُنُوتِ الْوِتْرِ-: اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ
هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajariku beberapa kalimat yang aku baca dalam shalat witir,—Ibnu Jawwas mengatakan, “Dalam qunut witir”—, ‘Allahummah-dina fiman hadait…’.” dst. (Sahih, HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi, dan Ibnu Hibban, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al- Albani)

    Demikian pula kata qunut dalam ungkapan ayat ataupun hadits, terkadang memiliki makna lain selain bacaan doa, yaitu taat, berdiri, khusyuk, diam, selalu dalam ibadah, dan tasbih. Makna-makna tersebut bisa dikaji dalam ayat-ayat berikut ini, ar-Rum: 26, az-Zumar: 9, at-Tahrim: 12, al- Baqarah: 328, an-Nahl: 16, al-Ahzab: 31, dan Ali Imran: 43. Selain itu makna tersebut juga terdapat dalam hadits,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang qunutnya panjang.” (Sahih, HR. Muslim)
Maksudnya, yang lama berdirinya. Inilah maknanya berdasarkan kesepakatan ulama, sebagaimana kata an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim. (lihat Nashbur Rayah, 2/132, dan Zadul Ma’ad, 1/267—268)

    Dengan demikian, bisa jadi makna hadits di atas apabila dikatakan sahih ialah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap melakukan qunut, yakni berdiri lama, dalam shalat subuh sampai beliau meninggal dunia. Sebab, memang shalat subuh yang beliau lakukan selalu panjang/lama. Ayat yang beliau baca sekitar 60 sampai 100 ayat. Ibnul Qayyim t mengatakan (Zadul Ma’ad, 1/262),“Di antara hal yang sangat diketahui, seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut setiap subuh dan berdoa dengan doa ini (Allahummah-dina fiman hadait) serta para sahabat mengaminkannya, tentu penukilan umat semuanya pada perbuatan tersebut sama dengan penukilan mereka dalam hal mengeraskan bacaan dalam shalat.”
     Beliau juga mengatakan, “Selalu melakukan qunut pada shalat subuh bukan petunjuk beliau n. Termasuk hal yang mustahil apabila setiap subuh, setelah i’tidal dari ruku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca, ‘Allahummah-dina… dst.’, dan mengeraskan suaranya lantas para sahabat selalu mengaminkannya sampai beliau meninggal, kemudian hal tersebut kurang diketahui oleh umat, lalu mayoritas umatnya tidak melakukannya, demikian pula mayoritas para sahabatnya, bahkan semuanya. Justru sebagian sahabat menyebutnya sebagai bid’ah, seperti yang dikatakan oleh Sa’ad bin Thariq al-Asyja’i (dari ayahnya).” (Zadul Ma’ad, 1/262— 263, bisa dilihat pembahasannya secara luas pada kitab tersebut)
Telah difatwakan pula oleh al-Lajnah ad-Daimah dan Ibnu Utsaimin bahwa hal itu termasuk bid’ah. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua dan kaum muslimin untuk semakin menyesuaikan cara ibadah kita dengan cara ibadah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allahu a’lam.
(sumber: Asysyariah.com/majalah asysyariah.com)