Selasa, 31 Maret 2015

” Pemerintah Yang Kafir ”

 ” Pemerintah Yang Kafir ”

     Terkait dengan pemerintah yang kafir, asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Hadi hafizhahullah menjelaskan bahwa, “Adapun pemerintah yang kafir jika benar-benar kafir , wajib atas kaum muslimin memberontak kepadanya apabila mereka memiliki kekuatan dan kemampuan menggulingkannya serta tidak menimbulkan kerusakan. Akan tetapi, kapan pemerintah itu benar-benar dikafirkan? Ada beberapa poin penting terkait dengan persoalan ini. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ
“Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata, padanya ada hujah dari Allah Subhanahu wata’ala di sisi kalian.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)



Berdasarkan hadits di atas, ada beberapa hal yang harus kita diperhatikan yaitu :

1. Perkara yang menjadikan pemerintah itu dapat diberontak adalah perkara yang benar-benar merupakan
    kekafiran.
    Jadi, hal itu bukan sekadar prasangka atau dugaan dan sebatas isu yang berkembang, tidak juga semata
    karena kefasikan, seperti berbuat zalim, minum khamr, taruhan, berjudi, dan sebagainya.
2. Kekafiran itu adalah kekafiran yang sudah jelas dan terang, serta tidak samar-samar dan bukan lantaran
    adanya syubhat atau takwil (penafsiran sendiri).
    Sebab, syubhat dan takwil terkadang muncul dari dalam diri seseorang, sehingga dia tidak dapat
    dikafirkan, oleh karena itu kita tidak boleh memberontak kepadanya. Al-Hafizh Ibnu Hajar
    rahimahumallah berkata, “Pada intinya, tidak boleh dilakukan pemberontakan selama yang diperbuatnya
    mengandung kemungkinan takwil.”(Fathul Bari)
    Lihatlah bagaimana al-Imam Ahmad rahimahumallah dipaksa untuk mengatakan bahwa al- Qur’an
    adalah makhluk, bukan kalamullah. Perkataan tersebut jelas merupakan sebuah kekufuran, bukan dari
    Islam. Perkataan itu adalah kekafiran menurut kesepakatan para ulama. Pemerintahan bani Abbas pada
    saat itu, seperti Khalifah al-Ma’mun, al- Mu’tashim, dan al-Watsiq, menjatuhkan hukuman kepada siapa
    saja yang tidak mau menyatakan hal ini.


     Para ulama mengatakan, siapa yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluk, maka dia kafir. Meski demikian, al-Imam Ahmad rahimahumallah tetap mendoakan pemerintahnya. Beliau berkata, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, tentu aku jadikan doa ini untuk kebaikan pemerintah.”

     Para fuqaha Baghdad pernah berkumpul di hadapan al-Imam Ahmad. Mereka duduk dan meminta pandangannya serta berdiskusi dengannya soal pemberontakan. Mereka menyampaikan bahwa masalah perkataan al-Qur’an adalah makhluk sudah menyebar; para ulama diuji dengannya; dan keadaan menjadi tidak menentu, hingga tahap mereka tidak bisa terus bersabar. Mereka berkata, “Tidak ada gunanya lagi sikap taat dan mendengar kepada pemerintah semacam ini.”

     Al-Imam Ahmad rahimahumallah menjawab, “Tidak! Semua ini menyelisihi hadits-hadits yang telah diriwayatkan. Bersabarlah kalian. Kita telah menjumpai dalam hadits ‘selama mereka masih menunaikan shalat’. Berhati-hatilah dalam urusan yang menyangkut darah kaum muslimin.”
Al-Imam Ahmad rahimahumallah melarang mereka membuka pintu keburukan. Mereka berkata, “Tidakkah engkau lihat apa yang kita hadapi saat ini?” Al-Imam Ahmad t menjawab, “Ini ujian khusus yang hanya menimpa sebagian orang. Adapun keburukan yang besar ialah apabila pedang sudah dihunuskan. Berhati-hatilah kalian terhadap darah kaum muslimin. Lindungilah darah mereka. Sungguh, semua ini telah menyelisihi hadits.”

     Al-Imam Ahmad rahimahumallah tidak mengafirkan pemerintahnya. Beliau justru memerintahkan agar mereka tetap mendengar dan taat, karena pemerintah saat itu dipengaruhi oleh ta’wil dan syubhat.
Dalam peristiwa ini, beliau sendiri  dihukum lantaran tidak mengatakan al- Qur’an sebagai makhluk. Beliau dipukul, didera, dan dicambuk dengan cemeti hingga pingsan beberapa kali. Meski demikian, kezaliman pemerintah tidak lantas mendorong beliau untuk mengatakan sesuatu di luar perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Inilah kepatuhan yang sempurna terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

3. (Apabila kekafirannya sudah nyata dan jelas), hendaknya kaum muslimin memiliki kekuatan dan
     kemampuan untuk menggulingkannya tanpa menimbulkan mudarat yang lebih besar.
     Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumallah berkata, “Apabila pemerintah jatuh kepada kekafiran yang jelas, tidak boleh ditaati. Siapa yang mempunyai kemampuan wajib untuk melawannya.” (Fathul Bari)
Jika tidak punya kemampuan, kaum muslimin tidak diperbolehkan untuk melakukan pemberontakan. Hendaknya mereka tetap bersabar hingga Allah memberikan kelapangan dan jalan keluar. Hendaknya mereka tetap berdakwah di tengah-tengah manusia, mengajari, dan memahamkan manusia kepada kebenaran serta mengajak mereka untuk menerima sepenuhnya apa yang diajarkan oleh makhluk yang paling mulia, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

     Asy-Syaikh al-Allamah Shalih al- Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun bermuamalah dengan pemerintah yang kafir, ini berbeda-beda tergantung keadaannya. Jika kaum muslimin memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memeranginya dan menggulingkannya dari kursi kepemimpinan, lalu diangkat seorang pemimpin yang muslim, wajib bagi mereka melakukan hal tersebut, bahkan hal itu termasuk jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala.”

    Akan tetapi, apabila mereka tidak memiliki kemampuan untuk menggesernya, maka tidak diperbolehkan bagi mereka untuk menyalakan api permusuhan dengan cara-cara atau tindakan yang zalim karena akan menimbulkan mudarat yang akan kembali kepada kaum muslimin itu sendiri.

     Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menetap di Makkah selama tiga belas tahun setelah beliau diutus. Tampuk kepemimpinan dan kekuasaan pada waktu itu ada pada orang kafir. Namun, ada di antara mereka yang masuk Islam dan menjadi sahabat-sahabat beliau. Mereka (Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya) tidak mengkudeta atau menurunkan orang-orang kafir dari kepemimpinannya. Mereka justru dilarang untuk memerangi orang-orang kafir pada masa itu.

    Mereka tidak diperintahkan untuk berperang kecuali setelah hijrah dan memiliki negara dan jamaah (pengikut) yang membuat mereka mampu untuk memerangi orang-orang kafir. Inilah manhaj Islam.
Apabila kaum muslimin berada di bawah pemerintah yang kafir dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk menggulingkannya, kewajiban mereka adalah berpegang teguh dengan keislaman dan akidah mereka
” (al-Hakim wa Anwa’uhu dan ad-Dur al-Mantsur)

sumber: asy-syariah.com

Kamis, 26 Februari 2015

” Meraih Pahala Dengan Bersabar “

 ” Meraih Pahala Dengan Bersabar “

    Tak ada seorang pun yang menginginkan hidup dalam keadaan sulit. Tidak ada seorang pun menginginkan musibah terjadi kepada dirinya. Namun, kenyataan hidup berbeda dengan apa yang selalu diinginkan oleh setiap manusia. Hidup manusia tak selalu diwarnai dengan kebahagiaan dan kesenangan. Tidak pula hidup selalu diliputi kesuksesan. Terkadang manusia harus jatuh bangun menghadapi kehidupan. Ia harus menghadapi sekian banyak cobaan. Beruntunglah orang orang yang selalu bersikap sabar.

Image result for Bersabar “

Apa itu Sabar?
Secara bahasa arti kata sabar adalah :
الْحَبْسُ وَالْمَنْعُ
Artinya, menahan atau mencegah.
Adapun secara istilah sabar dimaknai sebagai berikut:
 حَبْسُ اللِّسَانِ عَنِ التَّشَكِّي وَالتَّسَخُّطِ وَالنَّفْسِ عَنِ الْجَزَعِ وَالْجَوَارِحِ عَنْ لَطْم الْخُدُودِ وَشَقِّ الْجُيُوبِ
    Artinya, kemampuan seseorang untuk menahan lisan, mengendalikan diri (jiwa), serta menahan anggota tubuh dari memukul wajah dan merobek kerah baju (pakaian). (It-hafu al-’Uqul bi Syarhi Tsalati al-Ushul, asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri)

    Penyebutan “memukul wajah dan merobek kerah baju (pakaian)” dalam definisi di atas, terkait dengan kebiasaan orang-orang Arab jahiliah (sebelum Islam datang) ketika ditimpa musibah kematian orang yang dicintai. Mereka menunjukkan perilaku memukul-mukul wajah dan merobek kerah baju. Ini dilakukan sebagai wujud kesedihan yang mendalam.

     Berdasar definisi di atas, sabar memiliki tiga unsur pokok yaitu: pengendalian diri (jiwa), pengendalian lisan, dan pengendalian anggota tubuh. Kesabaran seseorang akan tecermin dari sejauh mana tingkat dan kemampuan dirinya melakukan pengendalian diri, lisan, dan anggota tubuhnya.

    Seseorang belum bisa dikatakan bersabar manakala tangan atau kakinya melakukan aksi perusakan saat dirinya emosi menghadapi ketidakpuasan. Dia melakukan tindakan agresif secara membabi buta. Seseorang belum juga dikatakan bersabar manakala dirinya ditimpa musibah lantas lisannya mengeluarkan kata-kata kekufuran atau kesyirikan, kata-kata tidak terpuji, umpatan atau sumpah serapah, caci maki, dan yang sejenis.

    Seseorang juga belum bisa dikatakan bersabar saat dirinya didera musibah lantas jiwanya goncang dan hilang kontrol diri. Dia tidak bisa mengendalikan diri, dan justru menampakkan kemarahan dan sikap emosi. Lebih dari itu, dalam keadaan goncang, dirinya terjatuh pada perbuatan syirik atau bid’ah. Dirinya tak sabar menghadapi kesulitan hidup lantas mendatangi dan meminta-minta kepada yang ada di dalam kubur atau mendatangi dukun, wal ’iyadzu billah. Maka dari itu, seseorang bisa dikatakan bersabar manakala dirinya mampu mengendalikan dan mengontrol emosi, lisan, dan segenap anggota badannya saat menghadapi musibah atau situasi tidak menyenangkan yang menimpanya. Ia tetap dalam garis ketaatan seraya tawakal (berserah diri) dan memohon pertolongan-Nya.

 Image result for Bersabar “

Macam Kesabaran
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahumallah menyebutkan bahwa kesabaran itu meliputi tiga macam.

1. Bersabar dalam rangka menaati Allah Subhanahu wata’ala. Ini sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wata’ala,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ
“Perintahlah keluargamu untuk menegakkan shalat dan bersabarlah dalam menunaikannya.” (Thaha: 132)
Firman-Nya pula,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنزِيلًا () فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan al-Qur’an kepadamu secara bertahap, maka bersabarlah dalam menetapi hukum Rabb-mu.” (al-Insan: 23—24)
Sabar dalam menaati Allah Subhanahu wata’ala  ialah bentuk kesabaran merealisasikan perintah-perintah Allah Subhanahu wata’ala.

2. Bersabar dari berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala

Bentuk kesabaran ini sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Saat seorang wanita berkedudukan dan terpandang mengajaknya melakukan perbuatan maksiat, Nabi Yusuf ‘Alaihissalam justru menghindar. Nabi Yusuf ‘Alaihissalam bersabar (menahan) diri untuk tidak terseret pada perilaku durhaka. Dia memilih untuk mendekam dalam penjara daripada harus melakukan kedurhakaan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman mengungkapkan kisah itu,
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
“Yusuf berkata, ‘Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh’.” (Yusuf: 33)

3. Bersabar atas segala takdir Allah Subhanahu wata’ala.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِل لَّهُمْ
“Bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran para rasul yang memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka.” (al-Ahqaf: 35)
Termasuk kesabaran ini ialah kesabaran ketika menyampaikan risalah dan menghadapi berbagai gangguan yang dilancarkan oleh anggota masyarakat.


"Ujian Hidup Pasti Ada"
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ(157)
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu, orangorang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami akan kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Rabbnya (yaitu, Allah Subhanahu wata’ala) dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Baqarah: 155—157)

    Di dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala menegaskan bahwa setiap manusia akan mendapat ujian di dalam kehidupannya. Ujian tersebut bisa dalam bentuk gagal panen, kehilangan modal usaha (harta), kehilangan orang yang dicintai (kematian), atau hilangnya rasa aman (ketakutan), dan lainnya. Meski demikian, orang-orang yang beriman, akan menyikapi semua ujian hidup tersebut dengan penuh kesabaran. Orang yang beriman memiliki keyakinan bahwa musibah yang menimpanya akan memberikan kebaikan pada dirinya.

     Betapa tidak, dengan musibah itu dia harus bersabar. Manakala dirinya bisa bersabar, maka Allah Subhanahu wata’ala akan memberikan pahala. Misal, seseorang yang diuji oleh Allah Subhanahu wata’ala dengan rasa sakit. Jika dirinya bersabar dengan apa yang menimpanya, niscaya dia akan mendapat ganjaran. Dia akan mendapat ampunan, yaitu dosa-dosanya dihapus dan mendapat rahmat dari Allah Subhanahu wata’ala Dalam sebuah hadits dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَاهَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa kepayahan, sakit (yang berkepanjangan/lama), kecemasan (gundah), kesedihan, kesakitan, dan dukacita hingga (ditimpa musibah) tertusuk duri, kecuali Allah l akan menghapuskan dosa-dosanya.” ( HR. al-Bukhari, no. 5642 dan Muslim, no. 52, 2573)
Demikianlah, ujian hidup itu pasti ada. Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ  أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟  فَقَالَ: الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ رَقِيقَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ ذَاكَ، وَإِنْ كَانَ صُلْبَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ ذَاكَ. قَالَ: فَمَا تَزَالُ الْبَلَايَا بِالرَّجُلِ حَتَّى يَمْشِيَ فِي الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, siapakah manusia yang paling berat mendapat ujian?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallampun lantas menjawab, “Para nabi lalu yang semisal dengan mereka kemudian yang semisal dengan mereka. Seseorang akan mendapat ujian sesuai dengan keadaan agamanya. Jika agamanya kokoh, keras pula ujiannya. Bila keadaan agamanya lemah, ia akan diuji sebanding dengan keadaan agamanya. Ujian itu tak akan terlepas dari seseorang hingga dirinya berjalan di muka bumi dengan tanpa dosa.” ( HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan selainnya. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 143)

Image result for Bersabar “

Sabar Menghadapi Ujian dalam Dakwah
    Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berupaya mengembangkan dakwah ke wilayah Thaif, yang beliau temui bukanlah sambutan yang baik. Beliau bersama seorang sahabat mendapat cercaan, hinaan, dan kekerasan fisik. Beliau dilempari batu. Tubuh beliau yang mulia terluka. Dari wajah beliau mengucur darah. Mengajak manusia menuju kebaikan malah dibalas kejelekan.
Betapa kejahilan yang begitu akut telah melekat pada masyarakat Thaif kala itu. Kejahiliahan yang ada pada mereka sedemikian menggulita sehingga tak mampu mencerna isi ajakan yang disampaikan manusia pilihan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hati mereka buta dan tuli, tiada mampu membedakan kebaikan dan keburukan.

    Meski demikian, Rasulullah n tetap bersabar. Lisan beliau terjaga, tidak membalas umpatan dan caci maki dengan yang semisal. Demikian pula anggota tubuh beliau tak membalas dengan balasan yang semisal. Jiwa beliau tetap kokoh, tak lantas goncang, dan berputus asa dari menebar kebaikan. Kesabaran terhunjam kukuh pada diri beliau. Abdullah bin Mas’ud z pernah bertutur bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita,
“Ada seorang nabi dari kalangan nabi-nabi shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim dipukul oleh kaumnya. Lantas mengucurlah darahnya. Nabi itu pun mengusap darah dari wajahnya seraya berdoa,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
‘Ya Allah, ampunilah kaumku. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui.’ (HR. al-Bukhari, no. 3477 dan Muslim, no. 1792).”
Dikisahkan pula dari Abu Abdillah Khabbab bin al-Aratt radhiyallahu ‘anhu. Katanya,
أَتَيْنَا رَسُولَ اللهِ  وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً فِي ظِلِّ  الْكَعْبَةِ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ فَقُلْنَا: أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُو اللهَ لَنَا؟ فَجَلَسَ مُحْمَرًّا وَجْهُهُ فَقَالَ قَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ يُؤْخَذُ الرَّجُلُ فَيُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ ثُمَّ يُؤْتَى بِالْمِنْشَارِ فَيُجْعَلُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُجْعَلُ فِرْقَتَيْنِ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ عَظْمِهِ مِنْ لَحْمٍ وَعَصَبٍ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِه وَاللهِ لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مَا بَيْنَ صَنْعَاءَ وَحَضْرَمُوتَ مَا يَخَافُ إِلَّا اللهَ تَعَالَى وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَعْجَلُونَ
“Kami mengeluh kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang kala itu tengah berbantal dengan kain burdahnya di bawah Ka’bah. Kami sampaikan, ‘Mengapa engkau tidak memintakan tolong dan mendoakan kami?’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ada seorang laki-laki yang hidup sebelum kalian ditangkap dan ditanam di dalam tanah. Kemudian gergaji diletakkan di kepalanya sehingga terbelahlah kepala laki-laki itu menjadi dua. Dengan sisir dari besi, kepala itu pun disisir sehingga terkelupas daging dan tulangnya. Semua itu tak lantas memalingkan dirinya dari agamanya. Demi Allah, sungguh Allah Subhanahu wata’ala akan menyempurnakan perkara ini (Islam) hingga orang yang berkendara dari Shan’a ke Hadramaut tidak ada yang ditakuti kecuali hanya Allah Subhanahu wata’ala dan serigala yang mengancam kambingnya. Akan tetapi, kalian begitu tergesa-gesa’.” (HR. al-Bukhari, no. 2943, 3852)

     Demikianlah ujian itu akan senantiasa ada. Telah menjadi tabiat dalam dakwah adanya beragam tantangan menghadang. Terkhusus, bagi para da’i yang menyerukan dakwah salafiyah. Beragam upaya untuk meruntuhkan sendi-sendi dakwah akan senantiasa dilakukan. Mulai dari upaya melakukan taqrib, upaya mendekatkan antarjamaah, hingga upaya pengaburan pemahaman dengan melalui berbagai media yang ada. Mereka bersinergi untuk mengoyak dakwah nan mulia ini. Mereka tuduh orang-orang yang bersikukuh di atas manhaj yang haq sebagai kelompok garis keras atau pernyataan yang semisal. Selama hawa nafsu mereka belum tercapai, mereka akan terus menggerogoti dakwah ini dengan berbagai syubhat dan syahwat. Nas’alullahu as-salamah (Kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wata’ala).
Terkait adanya ujian ini, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ () وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orangorang yang dusta.” (al-Ankabut: 2—3)

    Dalam berbagai keadaan, kesabaran harus senantiasa ada. Saat menghadapi masalah, apabila tidak disertai kesabaran, niscaya akan bisa mengarah pada keadaan yang lebih buruk. Dengan sikap sabar, seseorang akan mampu mengendalikan diri dan mengambil tindakan yang lebih baik (dengan izin Allah Subhanahu wata’ala). Sikap sabar akan mengantarkan seseorang pada kebaikan. Disebutkan dari Abi Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Menakjubkan untuk urusan yang menimpa seorang mukmin. Sungguh, seluruh urusannya membawa kebaikan. Tidaklah yang demikian itu bisa diperoleh seseorang kecuali hanya oleh seorang mukmin. Jika dirinya mendapatkan kesenangan lantas bersyukur, sikap syukurnya itu membawa kebaikan baginya. Jika dirinya ditimpa musibah lantas bersabar, sikap sabarnya itu membawa kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Dengan sikap sabar seseorang bisa meraup pahala nan tak terkira. Wallahu a’lam.
(sumber:asysyariah.com)

Minggu, 08 Februari 2015

Apa hukumnya qunut subuh?

 Apa hukumnya qunut subuh?

    Qunut subuh yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah yang qunut dilakukan secara terus-menerus, dengan doa yang khusus, seperti ( اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ )… dst.
Terjadi perbedaan pendapat para ulama mengenai hal ini. Sebagian ulama yang bermazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat disyariatkannya qunut subuh. Sementara itu, ulama dari mazhab yang lain berpendapat bahwa qunut tersebut tidak disyariatkan. Mereka yang berpendapat disyariatkannya qunut tersebut berdalil dengan beberapa riwayat, yang paling inti adalah hadits berikut ini.
مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ يَقْنَتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى   فَارَقَ الدُّنْيَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap melakukan qunut pada shalat subuh sampai berpisah dengan dunia.”

    Untuk mengetahui manakah pendapat yang terkuat dalam hal ini, tentu kita harus mempelajari derajat hadits ini, apakah sahih atau dha’if. Beberapa ulama, seperti az-Zaila’i, Ibnu Hajar, dan asy-Syaikh al-Albani telah membahas hadits tersebut dalam buku-buku takhrij mereka. Demikian pula Ibnul Qayyim dalam kitab Zadul Ma’ad. Berikut ini rangkuman pembahasan mereka. Hadits ini diriwayatkan melalui jalan Abu Ja’far ar-Razi, dari Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Rabi’ rahimahullah bercerita, “Aku duduk di sisi Anas bin Malik. Ada yang mengatakan kepada beliau, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut selama satu bulan.’ Beliau pun mengatakan seperti yang tersebut di atas.” Mari kita pelajari sanad hadits ini.

1. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
    Beliau adalah seorang sahabat yang terkenal, termasuk salah seorang sahabat yang meriwayatkan banyak
    hadits.
2. Rabi’ bin Anas rahimahullah
    Beliau adalah seorang tabi’in. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Taqribut Tahdzib,
    “Shaduq lahu auham (Jujur namun memiliki kekeliruankekeliruan).” Adz-Dzahabi rahimahullah dalam
    kitabnya, al-Kasyif, menukil ucapan Abu Hatim tentangnya, “Shaduq.”
3. Abu Ja’far ar-Razi
    Namanya ialah Isa bin Abi Isa Abdullah bin Mahan. Ibnu Hajar t menilainya, “Shaduq sayyi’ul hifzh (jujur
    tetapi hafalannya lemah), terkhusus kalau meriwayatkan dari Mughirah.” (Taqrib at-Tahdzib 8077)
    Adz-Dzahabi rahimahullah menukilkan penilaian Abu Zur’ah rahimahullah terhadapnya, “Yahimu
    katsiran (sering keliru).” Adapun penilaian an-Nasa’i terhadapnya, “Laisa bil qawi (tidak kuat betul).”
    Sementara itu, Abu Hatim rahimahullah menganggapnya tsiqah (tepercaya). (al-Kasyif 6563)
    Alhasil, para ulama hadits dalam bidang jarh wa ta’dil berbeda pendapat tentang keadaannya. Nukilan
    penilaian para ulama terhadapnya bisa dilihat dalam kitab Tahdzibut Tahdzib pada biografi beliau. Bisa
   disimpulkan bahwa di antara mereka ada yang menyebutnya sebagai tsiqah, shaduq, ada kelemahan,
   melakukan kekeliruan, jelek hafalannya, tidak kuat, dan seputar itu. Maknanya, ada sisi kebaikan pada
   kepribadian dan keagamaannya, serta punya kemampuan dalam hal hafalan, namun bukan pada derajat
   orang-orang yang tsiqah atau shaduq secara mutlak. Ini terbukti dengan adanya kekeliruan-kekeliruannya
   ketika meriwayatkan. Kesimpulan rawi yang seperti ini adalah apabila meriwayatkan sesuatu tanpa ada
   dukungan, riwayatnya tertolak. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hibban Shallallahu ‘alaihi
   wasallam, “Dia bersendiri dalam meriwayatkan dari orang orang yang terkenal dengan sesuatu yang
   diingkari oleh para ulama. Tidak mengagumkan saya untuk berhujah dengan haditsnya kecuali apabila
   sesuai dengan hadits orang-orang yang tsiqah. Riwayatnya tidak boleh dianggap kecuali yang tidak
   menyelisihi para perawi yang tsiqah.” (al-Majruhin 2/120)


    Dengan demikian, kita tidak boleh menyatakan haditsnya sahih kecuali apabila sesuai dengan riwayat perawi lain yang tsiqah, atau didukung oleh para perawi lain yang tsiqah. Dan dalam hal ini, keduanya tidak ada. Dukungan dari perawi lain, yang diistilahkan dengan mutaba’ah dan syawahid, tidak terwujud sebagaimana telah dikaji oleh Ibnu Hajar Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kitabnya, at-Talkhishul Habir, dan asy- Syaikh al-Albani Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Silsilah adh- Dha’ifah. Demikian pula kesesuaiannya dengan hadits tsiqah yang lain juga tidak terwujud, justru yang terjadi adalah bertentangan dengan hadits yang lain, di antaranya:

Pertama, hadits dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu sendiri.
قَنَتَ رَسُولُ اللهِ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو  عَلَى أَحْيَاءٍ مِنَ الْعَرَبِ
“Selama satu bulan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut setelah ruku’, mendoakan kecelakaan terhadap beberapa kabilah Arab.” (Muttafaqun alaihi)
Dalam riwayat Muslim rahimahullah terdapat tambahan, “Lalu beliau tidak melakukannya lagi.”
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَقْنُتُ إلّاَ إذَا دَعَى لِقَوْمٍ  أَوْ دَعَى عَلَى قَوْمٍ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan qunut kecuali ketika mendoakan kebaikan atau kejelekan atas suatu kaum.” (HR. al-Khathib al-Baghdadi)

Kedua, hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
كَانَ رَسُولُ اللهِ لَا يَقْنَتُ فِي صَ ةَالِ الصُّبْحِ إِلّاَ أَنْ يَدْعُوَ لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan qunut pada shalat subuh kecuali ketika mendoakan kebaikan atau kejelekan atas suatu kaum.” (HR. Ibnu Hibban)

    Sanad kedua hadits tersebut dinyatakan sahih oleh Ibnu Hajar al- Asqalani rahimahullah dan penulis kitab at- Tanqih, Ibnu Abdil Hadi rahimahullah. Dengan demikian, hadits yang kita bahas di atas memiliki sisi kelemahan dan bertentangan dengan kandungan hadits yang sahih. Dalam ilmu mushthalah hadits, hadits yang semacam ini disebut sebagai hadits mungkar. Di antara ulama yang menghukumi lemahnya hadits ini adalah Ibnu Hajar al- Asqalani rahimahullah. Beliau adalah salah seorang ahli hadits dari kalangan mazhab Syafi’i. Beliau mengatakan dalam kitabnya, at-Talkhishul Habir (hadits no. 370),
“Riwayat-riwayat hadits berbeda-beda dalam periwayatannya dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu dan telah goncang. Maka dari itu, hujah tidak tegak dengan hadits yang semacam ini.” Sebelumnya, Ibnul Jauzi rahimahullah juga melemahkannya dalam kitab at-Tahqiq dan al-‘Ilal al-Mutanahiyah. Demikian pula asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar dalam kitab Silsilah al-Ahadits adh- Dha’ifah (no. 1238).

    Setelah kita mengetahui kedudukan hadits di atas, kita bahkan mendapati adanya pengingkaran dari sebagian sahabat terhadap qunut subuh. Dalam kitab Bulughul Maram, Ibnu Hajar al- Asqalani t menyampaikan hadits berikut.
عَنْ سَعْدِ بْنِ طَارِقٍ قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي: يَا أَبَتِ،  إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ فَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِى الْفَجْرِ؟ فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ، مُحْدَثٌ.
Dari Sa’d bin Thariq al-Asyja’i, ia mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah shalat di belakang Rasulullah n, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali g. Apakah mereka melakukan qunut pada shalat subuh?’ Ia menjawab, “Wahai anakku, itu sesuatu yang baru.” (HR. al-Khamsah selain Abu Dawud dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

    Dalam kitab Ithaful Kiram (hlm. 90), sebuah syarah ringkas terhadap Bulughul Maram, disebutkan, “Maksudnya adalah bid’ah, sesuatu yang diada-adakan, dan tidak ada di zaman mereka. Yang ada adalah qunut nazilah yang terkadang dilakukan dan tidak terus-menerus.”

Tinjauan Makna Qunut
    Apabila ditinjau dari sisi makna, hadits Anas radhiyallahu ‘anhu tentang qunut subuh di atas juga tidak secara tegas menunjukkan disyariatkannya pelaksanaan qunut subuh dengan doa seperti yang lazim dilakukan sekarang oleh orang-orang. Sebab, dalam riwayat tersebut tidak disebutkan demikian, bahkan dalam riwayat itu disebutkan, “Beliau tetap melakukan qunut pada shalat fajar….”
Di manakah keterangan bahwa maksud dari qunut tersebut adalah doa seperti yang dilakukan oleh orangorang? Doa yang biasa dibaca tersebut justru merupakan doa qunut witir yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada cucunya, al-Hasan radhiyallahu ‘anhu, bukan doa qunut subuh. Riwayat berikut ini menjelaskannya.
قَالَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ عَلَّمَنِي رَسُولُ اللهِ :كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي الْوِتْرِ-قَالَ ابْنُ  جَوَّاسٍ: فِى قُنُوتِ الْوِتْرِ-: اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ
هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajariku beberapa kalimat yang aku baca dalam shalat witir,—Ibnu Jawwas mengatakan, “Dalam qunut witir”—, ‘Allahummah-dina fiman hadait…’.” dst. (Sahih, HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi, dan Ibnu Hibban, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al- Albani)

    Demikian pula kata qunut dalam ungkapan ayat ataupun hadits, terkadang memiliki makna lain selain bacaan doa, yaitu taat, berdiri, khusyuk, diam, selalu dalam ibadah, dan tasbih. Makna-makna tersebut bisa dikaji dalam ayat-ayat berikut ini, ar-Rum: 26, az-Zumar: 9, at-Tahrim: 12, al- Baqarah: 328, an-Nahl: 16, al-Ahzab: 31, dan Ali Imran: 43. Selain itu makna tersebut juga terdapat dalam hadits,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang qunutnya panjang.” (Sahih, HR. Muslim)
Maksudnya, yang lama berdirinya. Inilah maknanya berdasarkan kesepakatan ulama, sebagaimana kata an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim. (lihat Nashbur Rayah, 2/132, dan Zadul Ma’ad, 1/267—268)

    Dengan demikian, bisa jadi makna hadits di atas apabila dikatakan sahih ialah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap melakukan qunut, yakni berdiri lama, dalam shalat subuh sampai beliau meninggal dunia. Sebab, memang shalat subuh yang beliau lakukan selalu panjang/lama. Ayat yang beliau baca sekitar 60 sampai 100 ayat. Ibnul Qayyim t mengatakan (Zadul Ma’ad, 1/262),“Di antara hal yang sangat diketahui, seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut setiap subuh dan berdoa dengan doa ini (Allahummah-dina fiman hadait) serta para sahabat mengaminkannya, tentu penukilan umat semuanya pada perbuatan tersebut sama dengan penukilan mereka dalam hal mengeraskan bacaan dalam shalat.”
     Beliau juga mengatakan, “Selalu melakukan qunut pada shalat subuh bukan petunjuk beliau n. Termasuk hal yang mustahil apabila setiap subuh, setelah i’tidal dari ruku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca, ‘Allahummah-dina… dst.’, dan mengeraskan suaranya lantas para sahabat selalu mengaminkannya sampai beliau meninggal, kemudian hal tersebut kurang diketahui oleh umat, lalu mayoritas umatnya tidak melakukannya, demikian pula mayoritas para sahabatnya, bahkan semuanya. Justru sebagian sahabat menyebutnya sebagai bid’ah, seperti yang dikatakan oleh Sa’ad bin Thariq al-Asyja’i (dari ayahnya).” (Zadul Ma’ad, 1/262— 263, bisa dilihat pembahasannya secara luas pada kitab tersebut)
Telah difatwakan pula oleh al-Lajnah ad-Daimah dan Ibnu Utsaimin bahwa hal itu termasuk bid’ah. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua dan kaum muslimin untuk semakin menyesuaikan cara ibadah kita dengan cara ibadah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allahu a’lam.
(sumber: Asysyariah.com/majalah asysyariah.com)

Kamis, 05 Februari 2015

Apa Hukum Membaca Al-Fatihah Bagi Makmum ?

Apa Hukum Membaca Al-Fatihah  Bagi  Makmum?

    Secara global membaca al-Fatihah hukumnya wajib pada setiap rakaat sebagai rukun yang menentukan sahnya shalat. Ini adalah mazhab jumhur ulama. Dalilnya adalah sebagai berikut:


1. Hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
    bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.
“Tidak sah shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh ad-Daraquthni dengan lafadz,
لاَ تُجْزِئُ صَلاَةٌ لاَ يَقْرَأُ الرَّجُلُ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat yang pelakunya tidak membaca al-Fatihah padanya.” Kata ad-Daraquthni, “Ini adalah sanad yang sahih.” Al-Albani juga menyatakannya sahih.

2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ صَلَّى صَ ةَالً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ-ثَ ثَالًا-غَيْرُ تَمَامٍ. فَقِيلَ بِألَِي هُرَيْرَة:َ إِنَّا
 نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ ؟ فَقَالَ: اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ
“Barang siapa melaksanakan shalat tanpa membaca ummul Qur’an, shalatnya batal tiga kali, tidak sempurna.”

     Lantas dikatakan kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya kami biasa shalat di belakang imam (apa yang kami lakukan)?”
Kata Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Bacalah ummul Qur’an pada dirimu sendiri (secara berbisik).” (HR. Muslim)

Adapun dalil bahwa hal itu wajib sebagai rukun pada setiap rakaat shalat adalah:

1. Amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang secara kontinu membaca al-Fatihah pada seluruh rakaat
    shalatnya tanpa pernah meninggalkannya sama sekali, bersama sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
    wasallam,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. al-Bukhari dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu)

2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas tentang lelaki yang tidak tahu shalat yang benar lantas
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarinya tata cara shalat yang benar termasuk membaca surat
    (al-Fatihah) dan bersabda kepadanya,
ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا.
“Kemudian kerjakanlah hal itu semuanya pada seluruh rakaat shalatmu.” (Muttafaq ‘alaih)


    Secara detail, jumhur ulama berpendapat membaca al-Fatihah wajib sebagai rukun shalat bagi orang yang shalat sendiri dan imam. Adapun bagi makmum, mereka berselisih pendapat. Yang terbaik dari seluruh mazhab yang ada adalah:

1.  Disyariatkan bagi makmum membaca al-Fatihah pada saat imam membaca secara sirr; shalat sirriyyah secara mutlak dan shalat jahriyyah rakaat ketiga dan keempat. Begitu pula pada shalat jahriyyah rakaat pertama dan kedua jika makmum tidak bisa menyimak bacaan imam karena jauh dan jika imam sengaja diam untuk memberi kesempatan makmum membacanya. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat di antara penganut mazhab ini apakah hal itu hukumnya hanya sunnah atau wajib.

a. Hal itu disunnahkan.
    Ini yang masyhur dari Ahmad yang dipilih oleh al-Khiraqi dan Ibnu Qudamah. Pendapat ini berhujah
    bahwa bacaan imam telah mewakili bacaan makmum secara hukum berdasarkan hadits Jabir 
    radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَتُهُ لَهُ قِرَاءَةٌ.
“Barang siapa diimami oleh seorang imam, bacaan imamnya adalah bacaan untuknya juga.” (HR. Ahmad, an- Nasa’i, Ibnu Majah, ad-Daraquthni, dan al-Baihaqi. Dinyatakan hasan oleh al-Albani dengan penguat-penguatnya)

    Namun, membaca al-Fatihah lebih baik baginya daripada diam saja, karena shalat itu terdiri dari gerakan dan bacaan. Adapun mengatakan makmum diam saja tanpa membaca padahal tidak pula ada bacaan imam yang disimak, hal itu nyata-nyata keliru.

b. Hal itu diwajibkan.
     Ini pendapat lama asy-Syafi’i dan riwayat lain dari Ahmad yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan al-Albani.
    Pendapat ini berhujah bahwa bacaan imam hanyalah mewakili bacaan makmum secara hukum apabila
    makmum menyimak bacaan imamnya. Adapun tidak ada bacaan imam yang disimak karena imam
    membaca secara sirr atau imam menjaharkannya tetapi tidak tersimak dengan baik olehnya karena jauh,
    maka bacaan imam tidak dapat mewakilinya.
    Dalilnya adalah hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu di atas dengan asumsi bahwa bacaan imam mewakili
    bacaan makmum secara hukum jika makmum menyimak bacaan imamnya dengan baik. Hal ini sesuai
    dengan perintah Allah Subhanahu wata’ala pada firman-Nya,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan al-Quran, dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat.” (al-A’raf: 204)

     Al-Imam Ahmad pada riwayat Abu Dawud menukil ijma’ ulama bahwa maksud ayat ini adalah dalam shalat. Yakni, wajib bagi makmum diam untuk menyimak bacaan imamnya pada shalat jamaah. Adapun selain itu, tidak wajib. Diriwayatkan pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا.
“Dan jika imam membaca al-Qur’an, diamlah (untuk menyimaknya).”

    Dengan demikian, ayat dan hadits ini menunjukkan bahwa seorang makmum pada shalat jahriyyah (rakaat pertama dan kedua) berkewajiban diam untuk menyimak bacaan imamnya secara umum baik itu al-Fatihah maupun surat setelahnya. Dengan itu makmum telah terwakili secara hukum. Lagi pula, apa gunanya imam membaca dengan jahar jika imam tidak menyimaknya melainkan sibuk dengan bacaannya sendiri?
Menurut pendapat ini, pada mulanya ada izin membaca di belakang imam kemudian hukum itu mansukh (dihapus) berdasarkan hadits Abu Hurairah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam usai melaksanakan satu shalat yang beliau jahrkan bacaannya kemudian beliau bersabda, ‘Apakah ada di antaara kalian yang membaca bersamaku tadi?’ Seorang laki-laki menjawab, ‘Ya, wahai Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku katakan, ‘Kenapa aku dibarengi (hingga terganggu) dalam membaca al-Qur’an?’ Ia berkata, ‘Akhirnya orang-orang berhenti membaca di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat yang beliau jaharkan bacaannya ketika mereka telah mendengar larangan itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam’.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lainnya. Dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh Abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hibban, Ibnul Qayyim, al-Albani, dan al-Wadi’i)
Tampak sekali bahwa pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang pertama.

2.  Diwajibkan bagi makmum membaca al-Fatihah secara mutlak baik pada shalat sirriyyah maupun pada
     shalat jahriyyah.
    Ini mazhab Syafi’i—sesuai pendapat asy-Syafi’i yang baru—, Ibnu Hazm, dan al-Bukhari yang dirajihkan asy- Syaukani, Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimin, dan Muqbil al-Wadi’i.
Pendapat ini berdalil dengan keumuman makna hadits-hadits yang mewajibkan membaca al-Fatihah bahwa hal itu mencakup pula makmum pada setiap shalat termasuk shalat jahriyyah tanpa ada dalil kuat yang mengeluarkan makmum dari keumuman maknanya. Sebaiknya makmum membacanya saat imam diam sebelum membaca atau setelah membaca jika hal itu mungkin. Jika tidak, wajib membacanya meskipun pada saat imam membaca al-Fatihah dan surat setelahnya. Setelah membaca al-Fatihah, wajib diam untuk menyimak bacaan imamnya dan ini adalah ijma’ ulama.
Adapun pendapat bahwa bacaan imam yang disimak dengan baik oleh makmum telah mewakilinya berdasarkan hadits Jabir z, hal itu keliru. Sebab, hadits Jabir z telah dihukumi dha’if (lemah) oleh para imam ahli hadits terdahulu. Kata al-Bukhari dalam kitab “al- Qira’ah Khalfa al-Imam”, “Hadits ini tidak benar periwayatannya dari Nabi n menurut pakar ilmu hadits dari kalangan penduduk Hijaz, ‘Iraq, dan lainnya karena sanadnya mursal dan terputus dari riwayat Ibnu Syaddad dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya dan al-Baihaqi dalam al-Qira’ah Khalfa al-Imam telah menyatakan hal yang sama. Kata Ibnu Hajar dalam Talkhish al- Habir (1/420, Muassasah Qurthubah), “Masyhur dari hadits Jabir, dan memiliki jalan-jalan riwayat yang lain dari sekelompok sahabat lainnya, tetapi semuanya memiliki cacat/kelemahan.” Guru besar kami, Muqbil bin Hadi al-Wadi’i dalam Ijabatus Sa’il juga menghukuminya dha’if.
Seandainya sahih , harus dikompromikan dengan hadits-hadits yang mewajibkan al-Fatihah secara umum termasuk makmum, bahwa hal itu untuk bacaan setelah al-Fatihah. Buktinya, Nabi n telah melarang makmum membaca di belakang imam pada shalat jahriyyah kecuali al-Fatihah yang harus tetap dibaca, yaitu:

• Hadits seorang laki-laki sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَعَلَّكُمْ تَقْرَءُونَ وَالْإِمَامُ يَقْرَأُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَ ثَالًا؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا لَنَفْعَلُ. قَالَ: فَ تَفْعَلُوا إِ أَنْ يَقْرَأَ أَحَدُكُمْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Barangkali kalian membaca dalam keadaan imam membacadua kali atau tiga kali?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami memang melakukannya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika begitu, jangan kalian lakukan hal itu kecuali membaca al-Fatihah.” (HR. Ahmad, al-Bukhari dalam kitab al-Qira’ah, dan al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan al- Kubra dari jalan Abu Qilabah dari pria sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Baihaqi menyatakan sanadnya jayyid/bagus serta dinyatakan sahih oleh al-Albani dan al-Wadi’i)

Terdapat jalan riwayat lain dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang semakna dengannya dan lafadz terakhirnya adalah:
فَلاَ تَفْعَلُوا، لِيَقْرَأْ أَحَدُكُمْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فيِ نَفْسِهِ
“Jika begitu, jangan kalian lakukan hal itu, hendaknya salah seorang dari kalian membaca al-Fatihah pada dirinya
sendiri (berbisik).” (HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Hibban)

    Menurut Ibnu Hibban kedua riwayat ini sahih dan mahfuzh (benar/terjaga). Guru besar kami, al-Wadi’i dalam al- Jami ash-Shahih memiliki penilaian yang sama seperti Ibnu Hibban, karena hadits ini juga dinyatakan hasan oleh beliau. Sementara itu, al-Baihaqi menilai riwayat ini syadz (ganjil/keliru).7

• Hadits ‘Ubadah bin Shamith radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:
 “Adalah kami shalat fajar di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dan merasa kesulitan membaca. Seusai shalat beliau n bersabda, ‘Barangkali kalian membaca di belakang imam kalian ?’ Kami menjawab, ‘Ya, kami membaca secara cepat, wahai Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah kalian melakukannya kecuali membaca al-Fatihah, karena tidak sah shalat orang yang tidak membacanya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari pada kitab al-Qira’ah, Abu Dawud, at-Tirmidzi dengan menghasankannya, ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al- Baihaqi)

    Ibnu Baz menghukumi hadits ini sebagai hadits yang sahih. Al-Abani dalam kitab Ashlu Shifati Shalati an-Nabi menghukumi sanadnya hasan dan menukil bahwa hadits ini dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dan an-Nawawi. Bahkan ia mengangkat derajatnya menjadi sahih lighairih dengan penguat-penguatnya— di antaranya adalah hadits yang telah disebutkan di atas. Sementara itu, pada kitab adh-Dha’ifah dan Dha’if Sunan Abi Dawud, beliau menegaskan bahwa hadits ini dha’if (lemah) dengan tiga cacat.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa hadits ini memiliki cacat menurut penilaian para imam pakar hadits, dilemahkan oleh Ahmad dan lainnya dengan banyak kelemahan. Adapun klaim bahwa hukum ini telah mansukh (terhapus) tidaklah benar. Sebab, hal itu adalah ucapan az-Zuhri rahimahullah—seorang tabi’in—yang tersisip dalam matan hadits (mudraj), bukan ucapan Abu Hurairah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

     Hal ini dinyatakan oleh al-Auza’i, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli (guru al-Bukhari), al-Bukhari dalam kitab at- Tarikh, Abu Dawud dalam Sunan-nya, Ya’qub bin Sufyan, al-Baihaqi, al-Khatib, al-Kaththabi, dan lainnya. Ini dibenarkan oleh Ibnu Taimiyah dan asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i dalam al-Jami’ ash-Shahih. Dengan demikian, riwayat tersebut mursal (terputus antara az-Zuhri dan Nabi n). Hal ini semakin jelas mengingat Abu

    Hurairah radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai wajibnya membaca al-Fatihah dan berfatwa agar makmum membacanya secara sirr (berbisik). Bagaimana mungkin Abu Hurairah z menyuruh makmum membaca al- Fatihah secara sirr jika memang benar ia telah meriwayatkan bahwa hal itu telah mansukh? Tampaknya, pendapat ini lebih kuat daripada pendapat-pendapat sebelumnya. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat di antara penganut mazhab ini apakah hukumnya sebagai rukun atau wajib?

a. Menurut Ibnu Hazm, asy-Syaukani, al-Wadi’i: rukun tanpa perkecualian sama sekali.
b. Menurut mazhab Syafi’i dan Ibnu ‘Utsaimin: rukun dengan perkecualian masbuq yang ketinggalan bacaan
    al- Fatihah demi mengikuti imam yang telah rukuk atau sempat membaca sebagiannya bersama imam
    tetapi tidak selesai demi mengikuti imam yang melakukan rukuk sebelum ia menuntaskan bacaannya.
    Kewajiban membaca al-Fatihah gugur atasnya dan dianggap mendapat rakaat tersebut bersama imam.

Dalilnya adalah hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu,:

“Sesungguhnya ia sampai kepada Nabi n dalam keadaan Nabi n sedang rukuk, kemudian ia rukuk sebelum masuk shaf, kemudian ia menyampaikan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Semoga Allah Subhanahu wata’ala menambahkan semangat beribadah bagimu, tetapi jangan kamu ulangi (tergesa-gesa masuk shaf)’.” (HR. al-Bukhari)

    Lahiriah hadits ini menunjukkan bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu tidak mengganti rakaat tersebut dan tidak pula diperintah  oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menggantinya. Berarti, sama halnya makmum yang masbuq mendapati imam masih berdiri dan sempat membaca al-Fatihah di belakangnya, tetapi tidak selesai demi mengikuti imam yang melakukan rukuk. Pendapat bahwa ia dianggap mendapatkan rakaat tersebut adalah pendapat jumhur ulama.
c. Pendapat yang dipilih Ibnu Baz bahwa membaca al-Fatihah bagi makmum hukumnya hanya wajib, bukan
    rukun.
    Alasannya, ketika Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu dianggap mendapatkan rakaat yang ia tidak membaca al-Fatihah karena uzurkeharusan mengikuti imam (Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) yang sedang rukuk, hal itu menunjukkan pada asalnya al-Fatihah bukan rukun bagi makmum. Sebab, seandainya rukun, tidak akan gugur dengan uzur apa pun dan rakaat itu harus diganti.
    Jika alasan mengikuti imam yang rukuk dianggap sebagai uzur yang menggugurkan kewajiban membaca al- Fatihah bagi makmum, begitu pula halnya makmum yang lupa membaca al-Fatihah atau tidak membacanya karena tidak tahu hukum (jahil). Bahkan, keduanya lebih berhak diberi uzur daripada masbuq yang tidak sempat lagi membaca al-Fatihah untuk mengikuti rukuknya imam.
Berdasarkan hal ini, makmum yang lupa baca al-Fatihah pada sebagian rakaat shalatnya sedangkan ia bukan masbuq, ia tidak wajib sujud sahwi. Adapun jika ia masbuq satu rakaat atau lebih, ia menambah kekurangannya setelah imam salam dan wajib sujud sahwi. Lebih utama sujud sahwi sebelum salam. Pendapat terakhir inilah yang paling menakjubkan kami dan kami pilih dalam masalah ini.Wallahu a’lam.

(sumber: asysayriah.com)

Rabu, 04 Februari 2015

Definisi Sedekah Dan Macam-Macamnya

     Sedekah adalah pemberian sesuatu kepada fakir miskin atau yang berhak menerimanya, di luar kewajiban zakat mal dan zakat fitrah sesuai dengan kemampuan pemberinya. Istilah lain sedekah adalah derma dan donasi.


    Asal kata sedekah adalah Shidqoh (صدقة‎) yang artinya "benar". Menurut tafsiran para ulama, orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar dengan pengakuan imannya.
Jadi, sedekah adalah perwujudan sekaligus cermin keimanan seseorang.
Sedekah berbeda dengan Zakat ataupun Infak. Zakat itu hukumnya wajib bagi setiap Muslim yang hartanya sudah mencapai nishab (jumlah tertentu). Infak adalah sumbangan harta secara sukarela atau seikhlasnya.
Sedekah lebih luas dari infak, karena yang disedekahkan tidak terbatas pada materi saja, tapi juga bisa berupa tenaga dan pikiran. Bahkan, gerakan tubuh seperti senyum pun termasuk sedekah!

    Sedekah berupa materi sangat baik. Namun, sedekah non-materi juga sama sangat baiknya. 
Sedekah tidak harus berupa uang, tetapi Bisa juga dengan tenaga, ucapan, dan pikiran. Hadits-hadits berikut ini menunjukkan jenis-jenis sedekah yang bisa kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

"Setiap sendi manusia perlu bersedekah, setiap hari matahari terbit ada orang mengadili dua orang adalah sedekah. Membantu orang dengan mengangkat barang ke atas binatang tunggangan adalah sedekah. Satu kalimah yang baik adalah sedekah. Setiap langkah untuk mengerjakan solat adalah sedekah dan membuang sesuatu berbahaya di jalanan adalah sedekah. (HR. Bukhari).

"Setiap kali tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh pada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan hubungan intim kalian (dengan isteri) adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala?” Rasulullah Saw menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, apakah ia berdosa? Demikian juga jika melampiaskannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim).

“Setiap muslim harus bershadaqah.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana pendapatmu, wahai Rasulullah, jika ia tidak mendapatkan (harta yang dapat disedekahkan)?” Rasulullah saw. bersabda, “Bekerja dengan tangannya sendiri kemudian ia memanfaatkannya untuk dirinya dan bersedekah.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau bersabda, “Menolong orang yang membutuhkan lagi teranaiaya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Mengajak pada yang ma’ruf atau kebaikan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Menahan diri dari perbuatan buruk, itu merupakan shadaqah.” (HR. Muslim)

"Bahwasanya diciptakan dari setiap anak cucu Adam tiga ratus enam puluh persendian. Maka barangsiapa yang bertakbir, bertahmid, bertasbih, beristighfar, menyingkirkan batu, duri atau tulang dari jalan, amar ma’ruf nahi mungkar, maka akan dihitung sejumlah tiga ratus enam puluh persendian. Dan ia sedang berjalan pada hari itu, sedangkan ia dibebaskan dirinya dari api neraka.” (HR. Muslim)

"Tidaklah ada satu pekerjaan yang paling mulia yang dilakukan oleh seseorang daripada pekerjaan yang dilakukan dari tangannya sendiri. Dan tidaklah seseorang menafkahkan hartanya terhadap diri, keluarga, anak dan pembantunya melainkan akan menjadi shadaqah.” (HR. Ibnu Majah)


Kesimpulan:
Jenis-Jenis Sedekah berdasarkan hadits di atas ada 18 macam yaitu:
  1. Sedekah Harta (Materi)
  2. Senyum, berwajah ceria atau menyenangkan di depan orang lain.
  3. Mendamaikan orang yang sedang bertikai/bermusuhan.
  4. Membantu orang dengan tenaga yang kita mampu.
  5. Berkata baik.
  6. Melangkah untuk mengerjakan shalat.
  7. Membuang sesuatu berbahaya/rintangan yang ada di jalan.
  8. Tasbih mengucapkan Subhanallah (Mahasuci Allah)
  9. Tahmid mengucapkan Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah)
  10. Tahlil mengucapkan Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah)
  11. Istighfar mengucapkan Astaghfirullaahal 'azhim (Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung).
  12. Menyuruh atau mengajak kepada kebaikan
  13. Melarang atau mencegah kemungkaran/kemaksiatan.
  14. Hubungan intim suami-istri yang sah.
  15. Menolong orang yang membutuhkan bantuan kita
  16. Menolong orang yang teranaiaya atau terzhalimi
  17. Menahan diri dari perbuatan buruk, dosa, danmaksiat.
  18. Nafkahkan harta terhadap diri, keluarga, anak, dan pembantu.
Semoga kita mampu mengamalkan semua jenis sedekah di atas. Amin...!