Kamis, 05 Februari 2015

Apa Hukum Membaca Al-Fatihah Bagi Makmum ?

Apa Hukum Membaca Al-Fatihah  Bagi  Makmum?

    Secara global membaca al-Fatihah hukumnya wajib pada setiap rakaat sebagai rukun yang menentukan sahnya shalat. Ini adalah mazhab jumhur ulama. Dalilnya adalah sebagai berikut:


1. Hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
    bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.
“Tidak sah shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh ad-Daraquthni dengan lafadz,
لاَ تُجْزِئُ صَلاَةٌ لاَ يَقْرَأُ الرَّجُلُ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat yang pelakunya tidak membaca al-Fatihah padanya.” Kata ad-Daraquthni, “Ini adalah sanad yang sahih.” Al-Albani juga menyatakannya sahih.

2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ صَلَّى صَ ةَالً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ-ثَ ثَالًا-غَيْرُ تَمَامٍ. فَقِيلَ بِألَِي هُرَيْرَة:َ إِنَّا
 نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ ؟ فَقَالَ: اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ
“Barang siapa melaksanakan shalat tanpa membaca ummul Qur’an, shalatnya batal tiga kali, tidak sempurna.”

     Lantas dikatakan kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya kami biasa shalat di belakang imam (apa yang kami lakukan)?”
Kata Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Bacalah ummul Qur’an pada dirimu sendiri (secara berbisik).” (HR. Muslim)

Adapun dalil bahwa hal itu wajib sebagai rukun pada setiap rakaat shalat adalah:

1. Amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang secara kontinu membaca al-Fatihah pada seluruh rakaat
    shalatnya tanpa pernah meninggalkannya sama sekali, bersama sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
    wasallam,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. al-Bukhari dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu)

2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas tentang lelaki yang tidak tahu shalat yang benar lantas
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarinya tata cara shalat yang benar termasuk membaca surat
    (al-Fatihah) dan bersabda kepadanya,
ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا.
“Kemudian kerjakanlah hal itu semuanya pada seluruh rakaat shalatmu.” (Muttafaq ‘alaih)


    Secara detail, jumhur ulama berpendapat membaca al-Fatihah wajib sebagai rukun shalat bagi orang yang shalat sendiri dan imam. Adapun bagi makmum, mereka berselisih pendapat. Yang terbaik dari seluruh mazhab yang ada adalah:

1.  Disyariatkan bagi makmum membaca al-Fatihah pada saat imam membaca secara sirr; shalat sirriyyah secara mutlak dan shalat jahriyyah rakaat ketiga dan keempat. Begitu pula pada shalat jahriyyah rakaat pertama dan kedua jika makmum tidak bisa menyimak bacaan imam karena jauh dan jika imam sengaja diam untuk memberi kesempatan makmum membacanya. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat di antara penganut mazhab ini apakah hal itu hukumnya hanya sunnah atau wajib.

a. Hal itu disunnahkan.
    Ini yang masyhur dari Ahmad yang dipilih oleh al-Khiraqi dan Ibnu Qudamah. Pendapat ini berhujah
    bahwa bacaan imam telah mewakili bacaan makmum secara hukum berdasarkan hadits Jabir 
    radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَتُهُ لَهُ قِرَاءَةٌ.
“Barang siapa diimami oleh seorang imam, bacaan imamnya adalah bacaan untuknya juga.” (HR. Ahmad, an- Nasa’i, Ibnu Majah, ad-Daraquthni, dan al-Baihaqi. Dinyatakan hasan oleh al-Albani dengan penguat-penguatnya)

    Namun, membaca al-Fatihah lebih baik baginya daripada diam saja, karena shalat itu terdiri dari gerakan dan bacaan. Adapun mengatakan makmum diam saja tanpa membaca padahal tidak pula ada bacaan imam yang disimak, hal itu nyata-nyata keliru.

b. Hal itu diwajibkan.
     Ini pendapat lama asy-Syafi’i dan riwayat lain dari Ahmad yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan al-Albani.
    Pendapat ini berhujah bahwa bacaan imam hanyalah mewakili bacaan makmum secara hukum apabila
    makmum menyimak bacaan imamnya. Adapun tidak ada bacaan imam yang disimak karena imam
    membaca secara sirr atau imam menjaharkannya tetapi tidak tersimak dengan baik olehnya karena jauh,
    maka bacaan imam tidak dapat mewakilinya.
    Dalilnya adalah hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu di atas dengan asumsi bahwa bacaan imam mewakili
    bacaan makmum secara hukum jika makmum menyimak bacaan imamnya dengan baik. Hal ini sesuai
    dengan perintah Allah Subhanahu wata’ala pada firman-Nya,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan al-Quran, dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat.” (al-A’raf: 204)

     Al-Imam Ahmad pada riwayat Abu Dawud menukil ijma’ ulama bahwa maksud ayat ini adalah dalam shalat. Yakni, wajib bagi makmum diam untuk menyimak bacaan imamnya pada shalat jamaah. Adapun selain itu, tidak wajib. Diriwayatkan pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا.
“Dan jika imam membaca al-Qur’an, diamlah (untuk menyimaknya).”

    Dengan demikian, ayat dan hadits ini menunjukkan bahwa seorang makmum pada shalat jahriyyah (rakaat pertama dan kedua) berkewajiban diam untuk menyimak bacaan imamnya secara umum baik itu al-Fatihah maupun surat setelahnya. Dengan itu makmum telah terwakili secara hukum. Lagi pula, apa gunanya imam membaca dengan jahar jika imam tidak menyimaknya melainkan sibuk dengan bacaannya sendiri?
Menurut pendapat ini, pada mulanya ada izin membaca di belakang imam kemudian hukum itu mansukh (dihapus) berdasarkan hadits Abu Hurairah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam usai melaksanakan satu shalat yang beliau jahrkan bacaannya kemudian beliau bersabda, ‘Apakah ada di antaara kalian yang membaca bersamaku tadi?’ Seorang laki-laki menjawab, ‘Ya, wahai Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku katakan, ‘Kenapa aku dibarengi (hingga terganggu) dalam membaca al-Qur’an?’ Ia berkata, ‘Akhirnya orang-orang berhenti membaca di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat yang beliau jaharkan bacaannya ketika mereka telah mendengar larangan itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam’.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lainnya. Dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh Abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hibban, Ibnul Qayyim, al-Albani, dan al-Wadi’i)
Tampak sekali bahwa pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang pertama.

2.  Diwajibkan bagi makmum membaca al-Fatihah secara mutlak baik pada shalat sirriyyah maupun pada
     shalat jahriyyah.
    Ini mazhab Syafi’i—sesuai pendapat asy-Syafi’i yang baru—, Ibnu Hazm, dan al-Bukhari yang dirajihkan asy- Syaukani, Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimin, dan Muqbil al-Wadi’i.
Pendapat ini berdalil dengan keumuman makna hadits-hadits yang mewajibkan membaca al-Fatihah bahwa hal itu mencakup pula makmum pada setiap shalat termasuk shalat jahriyyah tanpa ada dalil kuat yang mengeluarkan makmum dari keumuman maknanya. Sebaiknya makmum membacanya saat imam diam sebelum membaca atau setelah membaca jika hal itu mungkin. Jika tidak, wajib membacanya meskipun pada saat imam membaca al-Fatihah dan surat setelahnya. Setelah membaca al-Fatihah, wajib diam untuk menyimak bacaan imamnya dan ini adalah ijma’ ulama.
Adapun pendapat bahwa bacaan imam yang disimak dengan baik oleh makmum telah mewakilinya berdasarkan hadits Jabir z, hal itu keliru. Sebab, hadits Jabir z telah dihukumi dha’if (lemah) oleh para imam ahli hadits terdahulu. Kata al-Bukhari dalam kitab “al- Qira’ah Khalfa al-Imam”, “Hadits ini tidak benar periwayatannya dari Nabi n menurut pakar ilmu hadits dari kalangan penduduk Hijaz, ‘Iraq, dan lainnya karena sanadnya mursal dan terputus dari riwayat Ibnu Syaddad dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya dan al-Baihaqi dalam al-Qira’ah Khalfa al-Imam telah menyatakan hal yang sama. Kata Ibnu Hajar dalam Talkhish al- Habir (1/420, Muassasah Qurthubah), “Masyhur dari hadits Jabir, dan memiliki jalan-jalan riwayat yang lain dari sekelompok sahabat lainnya, tetapi semuanya memiliki cacat/kelemahan.” Guru besar kami, Muqbil bin Hadi al-Wadi’i dalam Ijabatus Sa’il juga menghukuminya dha’if.
Seandainya sahih , harus dikompromikan dengan hadits-hadits yang mewajibkan al-Fatihah secara umum termasuk makmum, bahwa hal itu untuk bacaan setelah al-Fatihah. Buktinya, Nabi n telah melarang makmum membaca di belakang imam pada shalat jahriyyah kecuali al-Fatihah yang harus tetap dibaca, yaitu:

• Hadits seorang laki-laki sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَعَلَّكُمْ تَقْرَءُونَ وَالْإِمَامُ يَقْرَأُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَ ثَالًا؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا لَنَفْعَلُ. قَالَ: فَ تَفْعَلُوا إِ أَنْ يَقْرَأَ أَحَدُكُمْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Barangkali kalian membaca dalam keadaan imam membacadua kali atau tiga kali?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami memang melakukannya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika begitu, jangan kalian lakukan hal itu kecuali membaca al-Fatihah.” (HR. Ahmad, al-Bukhari dalam kitab al-Qira’ah, dan al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan al- Kubra dari jalan Abu Qilabah dari pria sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Baihaqi menyatakan sanadnya jayyid/bagus serta dinyatakan sahih oleh al-Albani dan al-Wadi’i)

Terdapat jalan riwayat lain dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang semakna dengannya dan lafadz terakhirnya adalah:
فَلاَ تَفْعَلُوا، لِيَقْرَأْ أَحَدُكُمْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فيِ نَفْسِهِ
“Jika begitu, jangan kalian lakukan hal itu, hendaknya salah seorang dari kalian membaca al-Fatihah pada dirinya
sendiri (berbisik).” (HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Hibban)

    Menurut Ibnu Hibban kedua riwayat ini sahih dan mahfuzh (benar/terjaga). Guru besar kami, al-Wadi’i dalam al- Jami ash-Shahih memiliki penilaian yang sama seperti Ibnu Hibban, karena hadits ini juga dinyatakan hasan oleh beliau. Sementara itu, al-Baihaqi menilai riwayat ini syadz (ganjil/keliru).7

• Hadits ‘Ubadah bin Shamith radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:
 “Adalah kami shalat fajar di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dan merasa kesulitan membaca. Seusai shalat beliau n bersabda, ‘Barangkali kalian membaca di belakang imam kalian ?’ Kami menjawab, ‘Ya, kami membaca secara cepat, wahai Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah kalian melakukannya kecuali membaca al-Fatihah, karena tidak sah shalat orang yang tidak membacanya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari pada kitab al-Qira’ah, Abu Dawud, at-Tirmidzi dengan menghasankannya, ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al- Baihaqi)

    Ibnu Baz menghukumi hadits ini sebagai hadits yang sahih. Al-Abani dalam kitab Ashlu Shifati Shalati an-Nabi menghukumi sanadnya hasan dan menukil bahwa hadits ini dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dan an-Nawawi. Bahkan ia mengangkat derajatnya menjadi sahih lighairih dengan penguat-penguatnya— di antaranya adalah hadits yang telah disebutkan di atas. Sementara itu, pada kitab adh-Dha’ifah dan Dha’if Sunan Abi Dawud, beliau menegaskan bahwa hadits ini dha’if (lemah) dengan tiga cacat.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa hadits ini memiliki cacat menurut penilaian para imam pakar hadits, dilemahkan oleh Ahmad dan lainnya dengan banyak kelemahan. Adapun klaim bahwa hukum ini telah mansukh (terhapus) tidaklah benar. Sebab, hal itu adalah ucapan az-Zuhri rahimahullah—seorang tabi’in—yang tersisip dalam matan hadits (mudraj), bukan ucapan Abu Hurairah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

     Hal ini dinyatakan oleh al-Auza’i, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli (guru al-Bukhari), al-Bukhari dalam kitab at- Tarikh, Abu Dawud dalam Sunan-nya, Ya’qub bin Sufyan, al-Baihaqi, al-Khatib, al-Kaththabi, dan lainnya. Ini dibenarkan oleh Ibnu Taimiyah dan asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i dalam al-Jami’ ash-Shahih. Dengan demikian, riwayat tersebut mursal (terputus antara az-Zuhri dan Nabi n). Hal ini semakin jelas mengingat Abu

    Hurairah radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai wajibnya membaca al-Fatihah dan berfatwa agar makmum membacanya secara sirr (berbisik). Bagaimana mungkin Abu Hurairah z menyuruh makmum membaca al- Fatihah secara sirr jika memang benar ia telah meriwayatkan bahwa hal itu telah mansukh? Tampaknya, pendapat ini lebih kuat daripada pendapat-pendapat sebelumnya. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat di antara penganut mazhab ini apakah hukumnya sebagai rukun atau wajib?

a. Menurut Ibnu Hazm, asy-Syaukani, al-Wadi’i: rukun tanpa perkecualian sama sekali.
b. Menurut mazhab Syafi’i dan Ibnu ‘Utsaimin: rukun dengan perkecualian masbuq yang ketinggalan bacaan
    al- Fatihah demi mengikuti imam yang telah rukuk atau sempat membaca sebagiannya bersama imam
    tetapi tidak selesai demi mengikuti imam yang melakukan rukuk sebelum ia menuntaskan bacaannya.
    Kewajiban membaca al-Fatihah gugur atasnya dan dianggap mendapat rakaat tersebut bersama imam.

Dalilnya adalah hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu,:

“Sesungguhnya ia sampai kepada Nabi n dalam keadaan Nabi n sedang rukuk, kemudian ia rukuk sebelum masuk shaf, kemudian ia menyampaikan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Semoga Allah Subhanahu wata’ala menambahkan semangat beribadah bagimu, tetapi jangan kamu ulangi (tergesa-gesa masuk shaf)’.” (HR. al-Bukhari)

    Lahiriah hadits ini menunjukkan bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu tidak mengganti rakaat tersebut dan tidak pula diperintah  oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menggantinya. Berarti, sama halnya makmum yang masbuq mendapati imam masih berdiri dan sempat membaca al-Fatihah di belakangnya, tetapi tidak selesai demi mengikuti imam yang melakukan rukuk. Pendapat bahwa ia dianggap mendapatkan rakaat tersebut adalah pendapat jumhur ulama.
c. Pendapat yang dipilih Ibnu Baz bahwa membaca al-Fatihah bagi makmum hukumnya hanya wajib, bukan
    rukun.
    Alasannya, ketika Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu dianggap mendapatkan rakaat yang ia tidak membaca al-Fatihah karena uzurkeharusan mengikuti imam (Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) yang sedang rukuk, hal itu menunjukkan pada asalnya al-Fatihah bukan rukun bagi makmum. Sebab, seandainya rukun, tidak akan gugur dengan uzur apa pun dan rakaat itu harus diganti.
    Jika alasan mengikuti imam yang rukuk dianggap sebagai uzur yang menggugurkan kewajiban membaca al- Fatihah bagi makmum, begitu pula halnya makmum yang lupa membaca al-Fatihah atau tidak membacanya karena tidak tahu hukum (jahil). Bahkan, keduanya lebih berhak diberi uzur daripada masbuq yang tidak sempat lagi membaca al-Fatihah untuk mengikuti rukuknya imam.
Berdasarkan hal ini, makmum yang lupa baca al-Fatihah pada sebagian rakaat shalatnya sedangkan ia bukan masbuq, ia tidak wajib sujud sahwi. Adapun jika ia masbuq satu rakaat atau lebih, ia menambah kekurangannya setelah imam salam dan wajib sujud sahwi. Lebih utama sujud sahwi sebelum salam. Pendapat terakhir inilah yang paling menakjubkan kami dan kami pilih dalam masalah ini.Wallahu a’lam.

(sumber: asysayriah.com)

Rabu, 04 Februari 2015

Definisi Sedekah Dan Macam-Macamnya

     Sedekah adalah pemberian sesuatu kepada fakir miskin atau yang berhak menerimanya, di luar kewajiban zakat mal dan zakat fitrah sesuai dengan kemampuan pemberinya. Istilah lain sedekah adalah derma dan donasi.


    Asal kata sedekah adalah Shidqoh (صدقة‎) yang artinya "benar". Menurut tafsiran para ulama, orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar dengan pengakuan imannya.
Jadi, sedekah adalah perwujudan sekaligus cermin keimanan seseorang.
Sedekah berbeda dengan Zakat ataupun Infak. Zakat itu hukumnya wajib bagi setiap Muslim yang hartanya sudah mencapai nishab (jumlah tertentu). Infak adalah sumbangan harta secara sukarela atau seikhlasnya.
Sedekah lebih luas dari infak, karena yang disedekahkan tidak terbatas pada materi saja, tapi juga bisa berupa tenaga dan pikiran. Bahkan, gerakan tubuh seperti senyum pun termasuk sedekah!

    Sedekah berupa materi sangat baik. Namun, sedekah non-materi juga sama sangat baiknya. 
Sedekah tidak harus berupa uang, tetapi Bisa juga dengan tenaga, ucapan, dan pikiran. Hadits-hadits berikut ini menunjukkan jenis-jenis sedekah yang bisa kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

"Setiap sendi manusia perlu bersedekah, setiap hari matahari terbit ada orang mengadili dua orang adalah sedekah. Membantu orang dengan mengangkat barang ke atas binatang tunggangan adalah sedekah. Satu kalimah yang baik adalah sedekah. Setiap langkah untuk mengerjakan solat adalah sedekah dan membuang sesuatu berbahaya di jalanan adalah sedekah. (HR. Bukhari).

"Setiap kali tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh pada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan hubungan intim kalian (dengan isteri) adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala?” Rasulullah Saw menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, apakah ia berdosa? Demikian juga jika melampiaskannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim).

“Setiap muslim harus bershadaqah.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana pendapatmu, wahai Rasulullah, jika ia tidak mendapatkan (harta yang dapat disedekahkan)?” Rasulullah saw. bersabda, “Bekerja dengan tangannya sendiri kemudian ia memanfaatkannya untuk dirinya dan bersedekah.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau bersabda, “Menolong orang yang membutuhkan lagi teranaiaya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Mengajak pada yang ma’ruf atau kebaikan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Menahan diri dari perbuatan buruk, itu merupakan shadaqah.” (HR. Muslim)

"Bahwasanya diciptakan dari setiap anak cucu Adam tiga ratus enam puluh persendian. Maka barangsiapa yang bertakbir, bertahmid, bertasbih, beristighfar, menyingkirkan batu, duri atau tulang dari jalan, amar ma’ruf nahi mungkar, maka akan dihitung sejumlah tiga ratus enam puluh persendian. Dan ia sedang berjalan pada hari itu, sedangkan ia dibebaskan dirinya dari api neraka.” (HR. Muslim)

"Tidaklah ada satu pekerjaan yang paling mulia yang dilakukan oleh seseorang daripada pekerjaan yang dilakukan dari tangannya sendiri. Dan tidaklah seseorang menafkahkan hartanya terhadap diri, keluarga, anak dan pembantunya melainkan akan menjadi shadaqah.” (HR. Ibnu Majah)


Kesimpulan:
Jenis-Jenis Sedekah berdasarkan hadits di atas ada 18 macam yaitu:
  1. Sedekah Harta (Materi)
  2. Senyum, berwajah ceria atau menyenangkan di depan orang lain.
  3. Mendamaikan orang yang sedang bertikai/bermusuhan.
  4. Membantu orang dengan tenaga yang kita mampu.
  5. Berkata baik.
  6. Melangkah untuk mengerjakan shalat.
  7. Membuang sesuatu berbahaya/rintangan yang ada di jalan.
  8. Tasbih mengucapkan Subhanallah (Mahasuci Allah)
  9. Tahmid mengucapkan Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah)
  10. Tahlil mengucapkan Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah)
  11. Istighfar mengucapkan Astaghfirullaahal 'azhim (Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung).
  12. Menyuruh atau mengajak kepada kebaikan
  13. Melarang atau mencegah kemungkaran/kemaksiatan.
  14. Hubungan intim suami-istri yang sah.
  15. Menolong orang yang membutuhkan bantuan kita
  16. Menolong orang yang teranaiaya atau terzhalimi
  17. Menahan diri dari perbuatan buruk, dosa, danmaksiat.
  18. Nafkahkan harta terhadap diri, keluarga, anak, dan pembantu.
Semoga kita mampu mengamalkan semua jenis sedekah di atas. Amin...!

Selasa, 03 Februari 2015

Etika Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al-Qur'an

Etika Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al-Qur'an

     Komunikasi sering dipahami sebagai penyampain pesan berupa ide, gagasan, pemikiran, informasi, bahkan ajakan kepada orang lain secara lisan, tulisan, langsung maupun tidak langsung, juga dapat melalui media. Berikut ini adalah Cara Berkomunikasi yang Baik Menurut Al-Quran atau "Etika Komunikasi Dalam Islam".


    Etika, kaidah, atau prinsip komunikasi seperti berikut ini juga berlaku kapan saja dan di mana saja, disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Berlaku juga untuk para da'i, penceramah, guru, dan semua umat Muslim dan Muslimah.

    Istilah atau "konteks" komunikasi dalam Al-Quran antara lain ditemukan dalam lafazh "Qaulan" yang berarti perkataan. Ada 6 istilah Qaulan yang menjadi panduan Islami dalam berkomunikasi yaitu:

  1. Qaulan Sadida (QS. An-Nisa:9)
  2. Qaulan Baligha ( QS. An-Nisa’: 63)
  3. Qaulan Ma’rufa ( QS. Al-Baqarah: 235; QS. An- Nisa’: 5& 8; QS. Al-Ahzab: 32)
  4. Qaulan Karima ( QS. Al-Isra’: 23)
  5. Qaulan Layina ( QS. Thaha: 44)
  6. Qaulan Maisura ( QS. Al-Isra’: 28).
    Keenam ayat ini mendukung ayat yang menjadi prinsip dasar komunikasi dalam Islam: “Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik (husna)” (QS. Al-Baqarah:83).

Qaulan Sadida: Perkataan yang Benar

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida –perkataan yang benar” (QS. An-Nisa:9)

Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan, as-sadid yaitu perkataan yang bijaksana dan perkataan yang benar.

    Dalam beromunikasi (berbicara) harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta atau menambah-nambahkan.  “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30). “Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).

Qaulan Baligha – Berdampak, Efektif

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-Nissa :63).

    Dalam Tafsir al-Maraghi diterangkan, Qoulan Balighan yaitu “perkataan yang bekasnya hendak kamu tanamkan di dalam jiwa mereka”. Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele dalam menyampaikan permasalahan.

    Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka.

“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka” (H.R. Muslim).

”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa kaumnya” (QS.Ibrahim:4)

Qaulan Ma’rufa: Kata-Kata yang Baik

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –kata-kata yang baik.” (QS An-Nissa :5)

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik” (QS An-Nissa :8).

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik…” (QS. Al-Baqarah:235).

“Qulan Ma’rufa –perkataan yang baik– dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 263).

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32).

    Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan, Qaulan Ma’rufa yaitu melembutkan kata-kata dan menepati janji. 

Qaulan Karima – Ucapan yang Mulia

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, seklai kali janganlah kamu mengatakan kepada kedanya perkatan ‘ah’ dan kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Karima –ucapan yang mulia” (QS. Al-Isra: 23).

    Qaulan Karima adalah perkataan yang baik dan mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Dalam ayat tersebut perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua orangtua. Kita dilarang membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya kasar dan menyakiti hati mereka.

    Qaulan Karima harus digunakan khususnya saat kita berkomunikasi dengan kedua orangtua atau orang yang harus kita hormati. Qaulan Karima adalah "kata-kata yang hormat, sopan, lemah lembut di hadapan mereka" (Ibnu Katsir).

Qulan Layina - Lemah-Lembut

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan Qulan Layina –kata-kata yang lemah-lembut…” (QS. Thaha: 44).

    Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati.Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.

    Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.

    Menurut Tafsir Al-Qurtubi, ayat ini merekomendasikan untuk memberi peringatan dan melarang sesuatu yang munkar dengan cara yang simpatik melalui ungkapan atau kata-kata yang baik dan hendaknya hal itu dilakukan dengan menggunakan perkataan yang lemah lembut, lebih-lebih jika hal itu dilakukan terhadap penguasa atau orang-orang yang berpangkat.

Qaulan Maysura – Mudah Dipahami

”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura –ucapan yang mudah” (QS. Al-Isra: 28).

    Qaulan Maysura (Maisuran) bermakna ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna, mudah dimengerti, dan dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan.

    Menurut Tafsir Ibnu Katsir,  Qaulan Maysura adalah ucapan-ucapan yang pantas, halus, dan lembut. Menurut Tafsir Al-Azhar, ia adalah kata-kata yang menyenangkan. Karena kadang-kadang kata-kata yang halus dan berbudi lagi membuat orang senang dan lega, lebih berharga daripada uang berbilang. (Disusun dari berbagai sumber, webrisalah.blogspot.com).

Jumat, 30 Januari 2015

Keutamaan Shalat Di awal Waktu

    Istilah shalat di awal waktu adalah pendapat para ulama dalam menafsirkan "ash-sholatu 'ala waqtiha" (sholat tepat pada waktunya) sebagai salah satu amalan yang paling dicintai oleh Allah SWT. 
Ayat Al-Quran dan hadits tidak menyebutkan istilah "shalat di awal waktu" secara mendetail. Namun, bukan berarti ini menjadi "pembenaran" atau jadi alasan untuk menunda-nunda atau mengulur-ulur waktu pelaksanaan shalat.

 
    Hadits Rasulullah Saw tentang keutamaan shalat pada waktunya terdapat dalam Shahih Bukari dan Muslim yang artinya:
"Amalan yang paling dicintai oleh Allah Swt adalah Shalat pada waktunya, Berbakti kepada kedua orang tua, dan Jihad di jalan Allah Swt.” (HR Bukhari & Muslim).

    Nabi Saw menyebutkan "Shalat pada waktunya" karena memang shalat wajib (fardhu) dalam Islam --Subuh, Zhuhur, Ashar, Magrib, dan Isya-- sudah tentukan waktunya oleh Allah SWT. 
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisaa : 103).

    Seorang Muslim dilarang shalat di luar waktu yang telah ditentukan. Yang mungkin paling sering terjadi adalah "bangun kesiangan" sehingga shalat Subuhnya berada di luar waktu Subuh.
Shalat di awal waktu menunjukkan tingkat keimanan, ketakwaan, dan kecintaan kepada Allah SWT. Kecintaan kepada Allah (mahabbatullah) akan melahirkan rasa rindu selalu ingin bertemu. Dan pertemuan dengan Allah terutama terjadi dalam Shalat.
    Lagi pula, dengan segera shalat, seorang mukmin berarti menunjukkan ingin segera diampuni dosa-dosanya oleh allah swt.
“Sesungguhnya shalat lima waktu itu menghilangkan dosa-dosa sebagaimana air menghilangkan kotoran.” (HR Muslim).

Hikmah dan Berkah Shalat di Awal Waktu

     Hikmah dan berkah terbesar shalat di awal waktu atau shalat pada waktunya adalah masuk surga.
Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Qatadah bin Rib’iy mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Allah Ta’ala berfirman: " ‘Sesungguhnya Aku mewajibkan umatmu shalat lima waktu, dan Aku berjanji bahwa barangsiapa yang menjaga waktu-waktunya pasti Aku akan memasukkannya ke dalam surga, dan barangsiapa yang tidak menjaganya maka dia tidak mendapatkan apa yang aku janjikan".

    Hikmah dan berkah lainnya adalah setiap perpindahan waktu sholat, bersamaan dengan terjadinya perubahan tenaga alam dan dirasakan melalui perubahan warna alam. Kondisi tersebut dapat berpengaruh pada kesehatan, psikologis, dan lainnya. 

    Berikut ini kaitan antara shalat di awal waktu dengan warna alam sebagaimana dikemukakan para ahli yang dikutip SyaamilQuran.com dari  Motivasi Islami Abadi, terutama untuk kesehatan jasmani dan rohani:

1. Waktu Subuh
    Alam berwarna biru muda simbol kekuatan tenaga alam. Saat awal waktu Subuh (azan Subuh berkumandang), tenaga alam berada pada tingkatan yang optimal. Tenaga inilah yang kemudian diserap oleh tubuh kita terutama pada waktu kita sedang ruku dan sujud.

2. Waktu Zhuhur
    Alam berubah menguning dan ini berpengaruh kepada perut dan sistem pencernaan manusia secara keseluruhan. Warna ini juga punya pengaruh terhadap hati. Warna kuning ini mempunyai rahasia berkaitan dengan keceriaan seseorang. Mereka yang selalu ketinggalan atau melewatkan sholat Zuhur berulang kali akan menghadapi masalah pada sistem pencernaan mereka serta akan menyebabkan berkurang keceriaannya.

3. Waktu Ashar. 
    Alam berubah lagi warnanya menjadi oranye. Hal ini berpengaruh cukup signifikan terhadap organ tubuh yaitu prostat, rahim, ovarium/ indung telur dan testis yang merupakan sistem reproduksi secara keseluruhan. Warna oranye di alam juga mempengaruhi kreativitas seseorang. Orang yang sering ketinggalan waktu Ashar akan menurun daya kreativitasnya. Di samping itu organ-organ reproduksi ini juga akan kehilangan tenaga positif dari warna alam tersebut.

4. Waktu Maghrib. 
    Warna alam kembali berubah menjadi merah. Sering pada waktu ini kita mendengar banyak nasehat orang tua agar tidak berada di luar rumah. Nasehat tersebut ada benarnya karena pada saat Maghrib tiba, spektrum warna alam selaras dengan frekuensi jin dan iblis. 
Pada waktu ini jin dan iblis amat bertenaga karena mereka ikut bergetar dengan warna alam. Mereka yang sedang dalam perjalanan sebaiknya berhenti sejenak dan mengerjakan sholat Maghrib terlebih dahulu. Hal ini lebih baik dan lebih selamat karena pada waktu ini banyak gangguan atau terjadi tumpang-tindih dua atau lebih gelombang yang berfrekuensi sama atau hampir sama dan bisa menimbulkan fatamorgana yang bisa mengganggu penglihatan kita.

5. Waktu Isya
    Pada waktu ini, warna alam berubah menjadi nila dan selanjutnya menjadi gelap. Waktu Isya mempunyai rahasia ketenteraman dan kedamaian yang frekuensinya sesuai dengan sistem kontrol otak kita. 
Mereka yang sering ketinggalan waktu Isya akan sering merasa gelisah. Untuk itulah ketika alam mulai diselimuti kegelapan, kita dianjurkan untuk mengistirahatkan tubuh ini. Dengan tidur pada waktu Isya, keadaan jiwa kita berada pada gelombang Delta dengan frekuensi dibawah 4 Hertz dan seluruh sistem tubuh memasuki waktu rehat. 
    Selepas tengah malam, alam mulai bersinar kembali dengan warna-warna putih, merah jambu dan ungu. Perubahan warna ini selaras dengan kelenjar pineal (badan pineal atau “mata ketiga”, sebuah kelenjar endokrin pada otak) kelenjar pituitary, thalamus(struktur simetris garis tengah dalam otak yang fungsinya mencakup sensasi menyampaikan, rasa khusus dan sinyal motor ke korteks serebral, bersama dengan pengaturan kesadaran, tidur dan kewaspadaan) dan hypothalamus (bagian otak yang terdiri dari sejumlah nucleus dengan berbagai fungsi yang sangat peka terhadap steroid, glukokortikoid, glukosa dan suhu). Maka sebaiknya kita bangun lagi pada waktu ini untuk mengerjakan sholat malam (tahajud).

(sumber:www.risalah islam.com)

Kamis, 29 Januari 2015

Menghargai Perbedaan Aliran Islam Dalam Msyarakat

 
     Allah swt menciptakan manusia secara bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, dia menjadikan manusia penuh perdedaan pasti memiliki rencana terhadap manusia. Sebab allah tidak mungkin menciptakan sesuatu secara sia-sia.
    Allah swt berfirman:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌالحجرات :
Artinya :
 “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S Al Hujurat:13)

      Ayat tersebut telah menggambarkan dengan jelas bahwa perbedaan merupakan rahmat di mana kita harus menyikapinya dengan saling bertoleransi. Apabi;a allah menginginkan manusia menjadi satu tipe saja, maka hal tersebut amatlah mudah baginya. Oleh karena itu kita tidak sepatutnya mempertengkarkan perbedaan-perbedaan di antara sesama umat muslim.
    Hal ini juga berlaku bagi penyikapan terhadap perbedaan-perbedaan pemahaman aliran dalam islam di masyarakat. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang menyikapi perbedaan yang ada dengan sikap toleransi dan terbuka.
 
    Untuk menghindari pertentangan dan menanamkan sikap toleransi dalam kehidupan sehari-hari, dapat di lakukan dengan hal-hal sebagai berikut:
  1. Membuka ruang dialog kepada sesama umat muslim yang memiliki perbedaan pandangan untuk mencapai titik temu permasalahan tersebut.
  2. Tidak menyebarkan paham truth of claim (klaim kebenaran) atas pandangan pribadi, yang kemudian menyalahkan aliran-aliran lainnya.
  3. Tidak menggunakan jalan kekerasan dalam menyikapi perbedaan pandanganajaran islam.
  4. Selalu mengingat bahwa umat muslim adalah bersaudara, sehingga menciptakan suasana perdamaian, ketenangan dan toleransi.
  5. Menyadari bahwa kebenaran tertinggi adalah milik allah, manusia hanya berusaha mendekati kebenaran yang ditetapkan oleh allah dalam ayat-ayatnya.

Senin, 26 Januari 2015

Manusia yang terbaik itu adalah orang yang bermanfaat bagi sesama, ramah, dan suka menolong orang lain.

Manusia yang terbaik itu adalah orang yang bermanfaat bagi sesama, ramah, dan suka menolong orang lain. 

    Banyak hadits yang menerangkan tentang hubungan antar sesama manusia. Salah satu hadits yang sudah sangat sering kita dengar salah satunya hadits yang berbunyi خير الناس أنفعهم للناس (khoirunnas anfa'uhum linnas). Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.


    Hadits shahih yang berisi tentang sebaik-baik manusia ini diriwayatkan dari Jabir. Ia berkata,”Rasulullah Saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).

     Dalam riwayat lain disebutkan, dari Ibnu Umar, bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah  dan amal apakah yang paling dicintai Allah Swt?” 

     Rasulullah Saw menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan." 




 
     Rasulullah Saw meneruskan sabdanya: "Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani).

     Dari kedua hadits tersebut, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain, ramah, dan suka menolong sesama atau  yang memberikan kebahagiaan bagi manusia lainnya. Semoga kita termasuk dalam golongan manusia terbaik tersebut. Amin!

   
    Berikut ini adalah kiat-kiat agar menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain:

  1.  berusaha untuk membantu mengurangi beban atau kesusahan orang lain
  2. bersikap ramah kepada setiap orang
  3. menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan kita
  4. sedekah dan zakat. dll
(sumber:risalahislam.com)